Opini
Solar Haram di Sulut: Tekad Gubernur vs Jaring Gelap Mafia
Instruksi Gubernur YSK tentang Satgas Mafia Solar bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan pernyataan etis – jika dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Oleh: Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus STF Seminari Pineleng dan IAIN Manado
TIDAK ada ruang bagi mafia solar di Sulawesi Utara. Saya sudah instruksikan Polda Sulut untuk membentuk Satgas Mafia Solar dan menindak tegas siapa pun yang terlibat.” Demikian pernyataan tegas Gubernur Sulut Yulius Selvanus Komaling (YSK) beberapa waktu lalu.
Kalimat itu menyulut harapan publik, namun sekaligus menantang realitas: mampukah pemerintah provinsi benar-benar membongkar jaring gelap ekonomi dan politik yang telah lama mengakar? Mafia solar bukan sekadar masalah kelangkaan bahan bakar. Ia adalah fenomena sosial, politik, ekonomi, hukum, dan moral yang kompleks, yang paling merugikan masyarakat kecil serta menggerogoti fondasi tata kelola daerah.
Jejak Panjang Jaringan Gelap Solar Sulut
Kasus penimbunan dan penyalahgunaan distribusi solar bersubsidi di Sulawesi Utara bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, aparat beberapa kali menggagalkan penyelundupan solar bersubsidi dalam jumlah besar. Modusnya seragam: penggunaan truk tangki modifikasi berkapasitas ganda, pembelian berulang di SPBU oleh kendaraan “bayangan”, penimbunan di gudang tersembunyi, hingga aliran solar ke industri yang seharusnya tidak menerima subsidi.
Sayangnya, operasi penindakan sering hanya menyasar level “lapangan”— sopir, operator SPBU, atau pengecer kecil. Sementara aktor utama di balik jaringan penimbunan, distribusi ilegal, dan proteksi politik sering lolos dari jerat hukum. Inilah yang membuat publik skeptis: apakah Satgas Mafia Solar yang diinstruksikan Gubernur YSK kelak akan benar-benar mengusik “raja-raja kecil” di balik layar?
Ekonomi gelap seperti ini sering disebut sebagai shadow economy: aktivitas ekonomi yang nyata, tetapi beroperasi di luar kerangka hukum dan regulasi. Dalam konteks Sulut, jaringan mafia solar telah membentuk semacam “ekosistem gelap” yang kokoh: ada aliran modal, jaringan distribusi, proteksi oknum aparat, dan mekanisme keuntungan yang rapi. Begitu kuatnya ekosistem ini sehingga operasi hukum sesekali tidak pernah benar-benar menyentuh akar masalah.
Lenyapnya Moralitas Publik
Fenomena mafia solar adalah cermin keretakan etika publik. Dalam filsafat moral Immanuel Kant, hukum moral bersifat kategoris: “bertindaklah hanya menurut asas yang dapat menjadi hukum universal”. Penyimpangan solar subsidi jelas tidak bisa dijadikan prinsip universal — ia hanya menguntungkan segelintir orang sambil merugikan banyak pihak. Namun praktiknya tetap berlangsung karena norma moral publik melemah, dan kepentingan pribadi mengalahkan keadilan sosial.
Filsuf kontemporer Michel Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di puncak negara, tetapi juga bekerja dalam jaringan praktik sehari-hari (micro-power). Mafia solar bekerja justru dalam celah-celah ini: di SPBU kecil, dalam rutinitas “pengisian tangki”, dalam pembiaran aparat lokal, dan dalam ketidakpedulian birokrasi. Kekuasaan gelap menjadi banal, tidak spektakuler tapi efektif.
Pakar Etika Indonesia Franz Magnis-Suseno mengingatkan bahwa pejabat publik punya kewajiban moral ganda: tidak hanya taat hukum, tetapi juga menjaga keadilan sosial. Ketika pejabat lokal atau aparat justru menjadi bagian dari jaringan mafia, tanggung jawab moral publik mereka lenyap. Instruksi Gubernur YSK tentang Satgas Mafia Solar, dalam konteks ini, bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan pernyataan etis – jika dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Ketimpangan yang Dinormalisasi
Fenomena mafia solar menunjukkan bagaimana ketidakadilan struktural tercipta dan dipelihara. Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa praktik sosial membentuk dan memperkuat struktur dominasi. Antrean panjang di SPBU, jatah “istimewa” untuk pihak tertentu, atau kendaraan yang “selalu lolos” pemeriksaan bukan sekadar insiden; itu adalah praktik sosial yang meneguhkan struktur dominasi jaringan mafia.
Di satu sisi, masyarakat kecil – nelayan, petani, sopir angkutan umum – harus antre berjam-jam, bahkan kadang tidak mendapatkan jatah solar. Di sisi lain, oknum pengusaha dan aparat dengan mudah mengakses puluhan ribu liter solar subsidi. Ketimpangan akses ini menciptakan ketidakadilan sosial yang nyata dan memperlebar jurang ekonomi antarkelompok masyarakat di Sulut.
Lebih jauh lagi, ada normalisasi sosial: banyak warga yang menganggap penimbunan atau “main belakang” sebagai hal lumrah. “Kalau bukan mereka, orang lain juga,” menjadi pembenaran sehari-hari. Inilah yang disebut sosiolog sebagai mekanisme reproduksi sosial ketidakadilan – struktur bertahan bukan karena paksaan semata, tetapi karena dianggap “normal” atau biasa.
Sulut Melangkah Lebih Jauh 2025–2029: Transformasi Menuju Pusat Pertumbuhan Pasifik |
![]() |
---|
Mafia BBM, Wajah Sulawesi Utara Terganggu |
![]() |
---|
Aib untuk Like |
![]() |
---|
Paradoksikal Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Sektor Kesehatan |
![]() |
---|
Tunjangan DPR dan Pragmatisme Pemilih, Menggugah Kesadaran Kolektif & Reorientasi Pendidikan Politik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.