Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Menguatkan Daerah Reseptif dan Risiko: Kunci Eliminasi Malaria Sulut Menuju SDGs 2030

Di balik kemajuan pariwisata dan pembangunan Sulawesi Utara, malaria masih menjadi ancaman tersembunyi di beberapa wilayah.

|
Penulis: Nielton Durado | Editor: Rizali Posumah
Dokumentasi Joy Victor
DOSEN - Joy Victor Imanuel Sambuaga, SKM, M.Sc. Ia adalah dosen di Poltekes Kemenkes Manado. Saat ini tengah study S-3 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Hasanuddin Makassar. 

Penulis : Joy Victor Imanuel Sambuaga, SKM, M.Sc.

Bayangkan sebuah orkestra besar bernama “Sulawesi Utara” setiap alat musiknya adalah kabupaten dan kota yang memainkan nada pembangunan: ada yang berdenting keras di sektor pariwisata, ada yang lembut di bidang pertanian, dan ada pula yang berirama cepat di dunia pendidikan dan kesehatan.

Namun di tengah harmoni itu, masih terdengar “nada sumbang” dengungan nyamuk Anopheles (vektor penyakit malaria) yang tak kenal lelah menembus batas-batas kemajuan Provinsi Sulut yang merupakan daerah dinamis dan terus berkembang.

Di balik kemajuan pariwisata dan pembangunan, malaria masih menjadi ancaman tersembunyi di beberapa wilayah.

Meski angka kasus menurun dalam satu dekade terakhir.

Sejumlah daerah tetap tergolong reseptif dan berisiko tinggi terhadap penularan malaria.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengendalian malaria belum boleh dilonggarkan, terutama bila kita ingin mencapai eliminasi malaria 2030 sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera.

Daerah reseptif adalah wilayah yang secara ekologis masih memungkinkan penularan malaria, meski belum tentu ditemukan kasus aktif.

Sedangkan daerah risiko adalah wilayah dengan penularan yang lebih sering terjadi, karena kombinasi faktor lingkungan, mobilitas penduduk, dan keberadaan nyamuk Anopheles.

Di Sulut, daerah seperti Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow Timur, hingga Kepulauan Talaud masih masuk kategori tersebut.

Aktivitas pertanian basah, tambang rakyat, dan curah hujan tinggi menciptakan kondisi ideal bagi nyamuk berkembang biak.

Maka, satu kasus impor saja bisa memicu transmisi lokal baru jika tidak diantisipasi dengan baik.

Percepatan pembangunan membawa dua sisi mata uang.

Disatu sisi, ekonomi tumbuh dan kesejahteraan meningkat. Disisi lain, mobilitas manusia dan perubahan tata guna lahan justru bisa memperluas wilayah reseptif malaria.

Kita menghadapi fenomena di mana daerah yang sudah lama bebas malaria kini kembali berisiko.
Inilah yang disebut re-emerging malaria. Jika tidak diantisipasi dengan pendekatan lintas sektor, capaian eliminasi bisa mundur.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved