Opini
Politik Hukum dari Dasar Kolam: Revitalisasi Sario dan Etika Kepemimpinan
Dindingnya retak, pompa rusak, dan fasilitas di sekitarnya nyaris tak berfungsi. Namun, para atlet tetap berlatih di sana di tengah keterbatasan
Oleh: Vebry Tri Haryadi (Praktisi Hukum dan Mantan Jurnalis)
KOLAM Renang Sario di Manado bukan sekadar tempat berenang. Ia adalah cermin dari wajah kebijakan publik—tentang bagaimana pemerintah memaknai tanggung jawab, integritas, dan keberanian mengambil keputusan untuk kepentingan masyarakat di tengah kritikan dan nada sumbang.
Faktanya selama hampir dua dekade, kolam yang berada di kompleks KONI Sulawesi Utara itu terabaikan. Airnya hijau pekat, penuh lumut, dan tidak pernah dikuras sejak tahun 1999.
Dindingnya retak, pompa rusak, dan fasilitas di sekitarnya nyaris tak berfungsi. Namun, para atlet tetap berlatih di sana, bertarung di tengah keterbatasan. “Sejak 1999 tidak pernah dikuras. Anggarannya minim,” tutur seorang penjaga yang telah bertugas sejak 1985.
Kisah Kolam Sario bukan hanya soal fisik yang rusak, tapi tentang sistem tata kelola publik yang lama dibiarkan mandek. Padahal, olahraga adalah simbol martabat daerah, dan setiap kebijakan publik semestinya mencerminkan tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warganya.
Di tengah stagnasi itu, Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus, mengambil langkah yang tidak biasa: memulai pembenahan Kolam Sario dengan biaya pribadi.
Pembersihan air, perbaikan pompa, pengecatan ulang, dan pengurasan total dilakukan tanpa membebani APBD sepeser pun alias Gubernur Yulius Selvanus memakai uang pribadinya.
Langkah awal itu, nantinya akan diintegrasikan secara resmi ke dalam mekanisme APBD, melalui proses perencanaan, evaluasi, dan pembahasan bersama DPRD Sulut. Tindakan tersebut menunjukkan bentuk kepemimpinan yang tidak menabrak aturan, namun menjadikan hukum sebagai alat untuk mempercepat kebaikan publik.
Inilah wujud nyata politik hukum yang responsif, sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo: bahwa hukum bukan sekadar teks yang kaku, melainkan sarana untuk menghadirkan keadilan dan kemanfaatan sosial.
Langkah Gubernur Yulius Selvanus memiliki dasar hukum yang kuat.
Pasal 298 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mengusulkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat dan kemampuan keuangan daerah.
Sementara Pasal 3 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan asas efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran publik.
Dengan berpedoman pada norma tersebut, transisi dari dana pribadi ke skema APBD bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan praktik tata kelola pemerintahan yang sehat dan transparan. Kebijakan publik tetap tunduk pada mekanisme pengawasan legislatif dan audit keuangan, sekaligus memberi ruang bagi kepemimpinan yang berinisiatif dan visioner.
Dalam teori etika administrasi publik, pejabat negara memiliki dua tanggung jawab: legalistik dan moral-sosial. Gubernur Yulius Selvanus menunjukkan keseimbangan keduanya. Ia tidak menunggu anggaran turun untuk bertindak, namun tetap menempuh jalur prosedural agar transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga.
Langkah ini sekaligus mengoreksi budaya birokrasi yang kerap lamban, menunjukkan bahwa kepemimpinan progresif bukan berarti menabrak hukum, melainkan memanfaatkan hukum untuk mempercepat kemaslahatan publik.
| William Shakespeare dan Chen Shou: Perspektif Sejarah Leluhur Minahasa Versi Weliam H Boseke |
|
|---|
| Kontroversi Dana Pemda Kabupaten Talaud Rp2,6 Triliun yang Mengendap di Bank |
|
|---|
| Membaca Ulang Kasus Prof Ellen Joan Kumaat, Rektor Bukan Kambing Hitam Proyek |
|
|---|
| Menguatkan Daerah Reseptif dan Risiko: Kunci Eliminasi Malaria Sulut Menuju SDGs 2030 |
|
|---|
| Menyelami Subkultur Islam dalam Tradisi Pesantren |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.