Opini
Solar Haram di Sulut: Tekad Gubernur vs Jaring Gelap Mafia
Instruksi Gubernur YSK tentang Satgas Mafia Solar bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan pernyataan etis – jika dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Tekad Gubernur sebagai Ujian Kepemimpinan
Dalam konteks politik lokal, keberadaan mafia solar juga memperlihatkan adanya ruang abu-abu antara bisnis gelap dan kekuasaan. Pengaruh ekonomi jaringan mafia bisa merembes ke arena politik daerah: melalui pendanaan politik, dukungan logistik, atau pengaruh terhadap aparat daerah. Gubernur YSK berada di persimpangan krusial. Ketika ia menginstruksikan Polda Sulut untuk membentuk Satgas Mafia Solar, ia bukan sekadar menjalankan kewajiban administratif, melainkan menguji keberanian politiknya.
Keberhasilan atau kegagalan pemberantasan mafia solar akan menjadi tolok ukur legitimasi politiknya di mata masyarakat. Jika hanya berhenti pada pernyataan retoris, publik akan memandangnya sama seperti pemimpin sebelumnya yang “keras di awal, redup di tengah”. Tetapi jika benar-benar ada langkah struktural – penindakan besar, transparansi publik, dan keberanian membongkar keterlibatan aparat – maka YSK bisa mencatatkan babak baru dalam politik energi Sulut.
Hukum Kuat, tapi Lemah dalam Penegakan
Secara normatif, kerangka hukum untuk menindak mafia solar sudah jelas. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan peraturan turunannya mengatur sanksi bagi penimbunan, penyalahgunaan distribusi, dan penyelundupan BBM bersubsidi. Namun yang lemah adalah penegakan hukum, bukan aturan.
Pakar tata kelola Susan Rose-Ackerman dalam Corruption and Government (1999) menjelaskan bahwa korupsi dan praktik ilegal tumbuh bukan karena kekurangan hukum, melainkan karena lemahnya lembaga penegak. Di Sulut, sering kali bukti rusak, kasus mandek, atau bahkan pelaku “besar” tidak tersentuh. Intervensi politik lokal, jaringan patronase, dan keterlibatan oknum aparat menjadi faktor penghambat.
Oleh sebab itu, Satgas Mafia Solar yang diinstruksikan Gubernur YSK harus memiliki dasar hukum yang kuat, koordinasi lintas lembaga (Polda, Kejaksaan, BPH Migas, Inspektorat Daerah), serta mekanisme pengawasan publik. Tanpa itu, Satgas hanya akan menjadi “tim pencitraan” tanpa taring.
Kejahatan yang Dinormalisasi
Fenomena mafia solar tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural dan psikologis. Banyak pelaku kecil yang terlibat bukan karena ambisi besar, melainkan karena mereka tumbuh dalam kultur di mana praktik ilegal sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. James C. Scott dalam Weapons of the Weak (1985) menyebut fenomena ini sebagai “perlawanan sehari-hari”: individu yang merasa sistem tidak adil, lalu melakukan praktik-praktik kecil untuk bertahan. Namun, dalam konteks mafia solar, praktik kecil ini dimanfaatkan oleh aktor besar untuk membangun jaringan ekonomi gelap.
Antropolog Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menyoroti bahwa kebudayaan bukan sekadar nilai, melainkan jaringan makna yang membentuk tindakan. Dalam budaya lokal tertentu, praktik “titip jeriken” atau “jual kembali sedikit” bukan dianggap kejahatan, melainkan kelaziman. Akibatnya, batas antara legal dan ilegal menjadi kabur secara sosial.
Untuk membongkar jaringan mafia solar, pemerintah tidak hanya harus menindak, tetapi juga menggeser budaya ini melalui pendidikan moral, kampanye publik, dan keteladanan aparat. Ini tugas berat yang tidak bisa selesai dengan razia seminggu.
Distorsi Pasar dan Kerugian Daerah
Secara ekonomis, bocornya solar subsidi ke pasar gelap menyebabkan kerugian ganda. Pertama, kerugian fiskal: subsidi yang seharusnya membantu masyarakat kecil justru mengalir ke kantong pengusaha nakal. Kedua, kerugian ekonomi produktif: sektor nelayan, pertanian, dan transportasi rakyat terhambat oleh kelangkaan dan harga tinggi. Ketiga, distorsi pasar: pelaku usaha jujur tidak bisa bersaing dengan jaringan ilegal yang mendapat bahan bakar murah dalam jumlah besar.
Ekonom Joseph E. Stiglitz (2002) menekankan bahwa korupsi dan monopoli lokal menyebabkan inefisiensi pasar, menurunkan daya saing daerah, dan menghambat investasi. Sementara Hernando de Soto (2000) menjelaskan bahwa ekonomi bayangan berkembang ketika regulasi formal terlalu lemah atau tidak dipercaya. Mafia solar adalah cermin ketidakmampuan negara mengelola sumber daya vital dengan efektif.
Bagi Sulut, yang mengandalkan sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata, kelangkaan solar bersubsidi menjadi hambatan struktural pembangunan ekonomi daerah. Biaya logistik meningkat, distribusi barang terganggu, dan daya beli masyarakat tergerus.
Sulut Melangkah Lebih Jauh 2025–2029: Transformasi Menuju Pusat Pertumbuhan Pasifik |
![]() |
---|
Mafia BBM, Wajah Sulawesi Utara Terganggu |
![]() |
---|
Aib untuk Like |
![]() |
---|
Paradoksikal Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Sektor Kesehatan |
![]() |
---|
Tunjangan DPR dan Pragmatisme Pemilih, Menggugah Kesadaran Kolektif & Reorientasi Pendidikan Politik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.