Opini
Paskokat: Spirit Militansi Iman dalam Gerak Kemanusiaan
Paskokat bukan sekadar “pasukan,” tetapi simbol zaman baru kaum muda Katolik: kuat dalam iman, teguh dalam moral, dan lembut dalam pelayanan.
Paskokat hadir sebagai armatura fidei (perisai iman), bukan dalam arti militeristik, tetapi spiritual: siap sedia mempertahankan martabat manusia, keadilan, dan kebenaran Injil di ruang publik (Rahner, 1978). Disiplin dan struktur komando Paskokat mencerminkan spiritualitas Ignasian – “menemukan Allah dalam segala hal” – dengan menekankan ketangguhan batin dan ketaatan rasional.
Dalam konteks Gereja Katolik Indonesia, kehadiran Paskokat adalah panggilan untuk menjawab tantangan zaman: bagaimana mengintegrasikan iman dengan aksi sosial, tanpa kehilangan rohnya sebagai bagian dari tubuh Kristus yang melayani.
Dari Tentara Kristus Menuju Pelayan Kemanusiaan
Kitab Suci sering menggunakan metafora militer bukan untuk kekerasan, melainkan untuk keteguhan iman. Paulus menulis, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (Ef 6:11). Dalam kerangka ini, Paskokat menjadi simbol kontemporer dari tentara Kristus yang berjuang melawan kejahatan sosial, korupsi moral, dan ketidakadilan struktural.
Namun Paskokat juga dipanggil untuk meneladani Kristus yang “tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mrk 10:45). Militansi Paskokat harus berpuncak pada diakonia: pelayanan penuh kasih terhadap sesama. Ketegasan dan kasih mesti berjalan beriringan, sebab tanpa kasih, segala perjuangan hanya menjadi gema kosong (1Kor 13:1).
Dengan demikian, Paskokat bukanlah pasukan yang berperang, tetapi pasukan yang melayani; bukan pasukan yang menaklukkan, tetapi pasukan yang menyembuhkan luka sosial umat.
Paskokat di Tengah Krisis Solidaritas
Konteks sosial Indonesia hari ini memperlihatkan gejala krisis solidaritas: meningkatnya individualisme, polarisasi politik, dan lunturnya semangat gotong royong (Latif, 2018). Dalam situasi ini, Paskokat memiliki peran penting untuk menghadirkan wajah baru keterlibatan sosial Katolik: yang disiplin, berakar, dan tangguh.
Kehadiran lebih dari 80 peserta dalam Latsar Gelombang II di Tongkaina merupakan simbol kebangkitan solidaritas muda Katolik yang ingin mengabdi, bukan sekadar eksis. Mereka dilatih bukan hanya menjadi “penjaga Gereja”, tetapi “penjaga kehidupan sosial” yang konkret – melalui aksi kebencanaan, kemanusiaan, dan pembelaan martabat manusia.
Dengan keterlibatan lintas daerah (Sulut, Sulteng, Sulbar), Paskokat juga menampilkan model persaudaraan trans-regional, memperluas solidaritas Katolik menjadi jejaring Nusantara. Militansi sosial seperti ini adalah jawaban terhadap krisis fragmentasi dan intoleransi yang masih menghantui ruang publik Indonesia.
Tubuh, Disiplin, dan Makna Diri
Dari sisi antropologis, Paskokat menegaskan kembali kesatuan antara tubuh dan jiwa dalam pengalaman religius. Latihan fisik dan kedisiplinan tubuh dalam pelatihan bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga cara membentuk kesadaran diri. Michel Foucault (1977) pernah menyebut tubuh sebagai “medan kekuasaan,” tetapi dalam konteks Paskokat, tubuh menjadi medan pembebasan: disiplin yang menumbuhkan penguasaan diri, bukan penaklukan orang lain.
Paskokat menolak dikotomi modern antara spiritualitas dan materialitas. Dalam tubuh yang terlatih, iman menemukan ekspresinya. Dalam gerak yang tertib, nilai menemukan wujudnya. Antropologi Katolik selalu melihat manusia sebagai kesatuan yang utuh – imago Dei – maka Paskokat sebenarnya sedang menghidupkan kembali kesadaran manusiawi yang integral: bahwa tubuh pun dapat menjadi bahasa iman.
Etika Kader dan Pembelaan terhadap Keadilan
Dalam ranah politik, eksistensi Paskokat tidak boleh disalahpahami sebagai paramiliterisasi Gereja, melainkan sebagai formasi etika kader. Politik yang bermoral membutuhkan generasi yang disiplin dan berani, bukan yang tunduk pada arus populisme atau kepentingan pragmatis.
Pasukan Komando Pemuda Katolik (Paskokat)
Pemuda Katolik
Gereja Katolik
Stefanus Gusma
relativisme moral
| Politik Hukum dari Dasar Kolam: Revitalisasi Sario dan Etika Kepemimpinan |
|
|---|
| William Shakespeare dan Chen Shou: Perspektif Sejarah Leluhur Minahasa Versi Weliam H Boseke |
|
|---|
| Kontroversi Dana Pemda Kabupaten Talaud Rp2,6 Triliun yang Mengendap di Bank |
|
|---|
| Membaca Ulang Kasus Prof Ellen Joan Kumaat, Rektor Bukan Kambing Hitam Proyek |
|
|---|
| Menguatkan Daerah Reseptif dan Risiko: Kunci Eliminasi Malaria Sulut Menuju SDGs 2030 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/Latsar-Paskokat-Sulawesi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.