Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Dari Ojol ke Wamenaker: Ironi Korupsi dan Krisis Etika Aktivisme Pragmatik

Noel tampaknya menangis bukan karena menyesali penderitaan buruh, melainkan karena takut kehilangan jabatan, kuasa, dan kenyamanan.

|
Tribunnews/Jeprima
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel menangis saat digiring bersama tahanan lainnya menuju ruang konferensi pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025). KPK menetapkan Noel beserta 10 orang lainnya menjadi tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar pada 20-21 Agustus 2025. Noel ditangkap di Jakarta terkait dugaan pemerasan terhadap sejumlah perusahaan dalam pengurusan sertifikasi K3. Selain itu, KPK juga menyita 22 kendaraan dari operasi senyap yang dimaksud. 

Buruh Sebagai Korban Ganda

Kasus Noel juga menggambarkan betapa buruh dan pengusaha kecil di Indonesia terus-menerus menjadi korban. Dalam teori konflik Karl Marx (1867) dalam Das Kapital, buruh selalu berada dalam posisi subordinat. Namun ketika pejabat yang seharusnya melindungi mereka justru memeras dengan dalih pengurusan K3, maka terjadi eksploitasi ganda: pertama, eksploitasi struktural oleh sistem kapitalisme; kedua, eksploitasi birokratis oleh pejabat korup. Dampaknya bukan hanya finansial, tetapi juga psikologis: buruh kehilangan kepercayaan kepada negara. Buruh yang harusnya terlindungi malah diperas, dan pejabat publik yang diharapkan menjadi “advokat sosial” justru menjadi pemangsa.

Air Mata yang Terlambat

Tangisan Noel ketika ditetapkan sebagai tersangka KPK lebih menyerupai drama penyesalan yang terlambat. Dari perspektif psikologi moral Lawrence Kohlberg (1981), kesadaran moral seseorang berkembang dari tingkat egosentris (takut dihukum) ke tingkat konvensional (tunduk pada norma) hingga post-konvensional (prinsip universal). 

Noel tampaknya berhenti di level egosentris: ia menangis bukan karena menyesali penderitaan buruh, melainkan karena takut kehilangan jabatan, kuasa, dan kenyamanan. Tangisan itu adalah cerminan krisis moral yang dalam: menangisi diri sendiri, bukan menangisi korban korupsi.

Relawan, Pragmatisme, dan Retaknya Hubungan

Kasus ini juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional. Publik tetap meyakini bahwa Noel adalah “orang Jokowi”, meski belakangan menempel ke Gerindra dan Prabowo. Ketika gagal caleg, ia seolah hanya “menumpang” pada Gerindra.

OTT KPK terhadap Noel memberi sinyal buruk bagi relasi politik: Bagi Prabowo, kasus ini bisa merusak citra pemerintahan barunya. Apalagi Noel sempat menjadi simbol dukungan bagi dirinya melalui Prabowo Mania. Bagi Jokowi, kasus ini memperlihatkan sisi gelap “politik relawan” yang terlalu sering dijadikan batu loncatan bagi jabatan publik. Politik relawan akhirnya dipersepsikan publik bukan lagi sebagai gerakan tulus, tetapi sebagai jalur instan menuju kekuasaan. Noel menjadi simbol kegagalan integritas dalam politik relawan Indonesia.

Korupsi dan Tanggung Jawab Negara

Secara yuridis, kasus Noel memperlihatkan pentingnya supremasi hukum. Korupsi, apapun modusnya, adalah tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang merampas hak sosial-ekonomi rakyat. Undang-Undang Tipikor (1999/2001) secara tegas mengatur hukuman berat bagi pejabat publik yang melakukan pemerasan. Permintaan Noel agar Prabowo memberi amnesti adalah bukti ketidakpahaman hukum. Amnesti hanya berlaku untuk kasus politik tertentu, bukan tindak pidana korupsi. 

Korupsi tidak bisa dihapus dengan belas kasihan politik, melainkan harus diproses dengan hukum yang adil. Kasus ini sekaligus menjadi ujian bagi KPK yang kini sering diragukan independensinya. Apakah lembaga antirasuah ini mampu berdiri tegak menghadapi tekanan politik, atau justru kembali tunduk pada kompromi?

Krisis Teladan Publik

Kasus Noel adalah cermin besar tentang krisis teladan publik di Indonesia. Dari ojol menjadi Wamenaker seharusnya bisa menjadi cerita inspiratif tentang meritokrasi. Namun yang terjadi adalah sebaliknya: kisah jatuhnya seorang aktivis ke dalam jurang korupsi.

Filsafat mengajarkan tentang autentisitas (Arendt, 1958), etika menekankan kebajikan (MacIntyre, 1981), psikologi menyoroti tangisan palsu (Kohlberg, 1981), politik mengungkap pragmatisme, sosial menunjukkan korban yang ditelantarkan (Marx, 1867), dan hukum menuntut keadilan (UU Tipikor, 1999/2001). Semua dimensi itu berpadu dalam satu kalimat sederhana: korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat!

Bangsa ini membutuhkan pejabat yang bersyukur, aktivis yang tulus, dan relawan yang konsisten. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan drama air mata yang datang terlambat, tanpa pernah ada pemulihan nyata bagi rakyat yang terus terjerat kemiskinan. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved