Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Perilaku Koruptif dan Turbulensi Sektor Kesehatan

Sektor Kesehatan sebagai bagian dari sektor pelayanan publik jarang mendapat sorotan secara global maupun nasional terkait isu korupsi

Editor: David_Kusuma
Dokumentasi Pribadi Adi Tucunan
Adi Tucunan (Staf Pengajar FKM Unsrat) 

Penulis : Adi Tucunan (Staf Pengajar FKM Unsrat)

Dalam konteks pemerintahan kita selalu mendengar kata perilaku koruptif akrab ataupun bersinggungan dengan para politisi baik yang duduk di pemerintahan maupun dewan perwakilan rakyat. Sektor Kesehatan sebagai bagian dari sektor pelayanan publik jarang mendapat sorotan secara global maupun nasional terkait isu korupsi dalam menjalankan perannya baik dalam perspektif sisi kemanusiaan maupun perspektif bisnis.

Dalam tulisannya di International Journal of Health Policy and Management, 3 orang ilmuwan di London School of Hygiene and Tropical Medicine London UK yaitu Hutchinson, Balabanova, dan McKee menulis sebuah artikel berjudul: ‘We need to talk about corruption in health systems’.

Mereka menyebutkan bahwa isu korupsi sangat jauh dari pembahasan di sektor kesehatan padahal dia memiliki konsekuensi yang cukup serius terhadap para pasien atau Masyarakat.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba memberi gambaran bahwa sektor kesehatan yang disebut sebagai pemegang nilai-nilai luhur kemanusiaan sudah tidak sama lagi seperti beberapa dekade lalu dalam pencarian makna dan nilai pelayanan terhadap aspek kemanusiaan. Akar dari persoalan yang membelenggu mengapa banyak insan di sektor kesehatan mulai tergoda untuk membajak sisi pelayanan humani situ adalah karena dunia kesehatan saat ini sudah menjadi industrialisasi. 

Kata industri kesehatan hari ini telah mereduksi manusia dari nilai-nilainya yang hakiki sebagai subjek yang otoritatif atas dirinya, menjadi objek konflik kepentingan dari industri medis yang begitu kuat mencengkeram publik kita tanpa daya dan pembelaan diri. Mari kita cermati beberapa hal yang sering terjadi  dalam industri kesehatan yang bisa menciptakan turbulensi yang kuat sehingga mendegradasi prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, kesamarataan.

Sektor kesehatan hari ini sudah seperti sektor ekonomi yang menjalankan prinsip dagang yang mempertemukan penjual dan pembeli. Pasien di rumah sakit sering menjadi objek dari konflik kepentingan mencari profit yang besar oleh industri farmasi dengan menggandeng tangan-tangan orang medis dan cenderung merekayasa banyak proyek di sektor kesehatan terutama alat kesehatan dan obat-obatan yang menjadi tambang uang dan memperkuat Kerajaan bisnis mereka.

Para dokter yang bekerja sama dengan industri farmasi cenderung mendapat keuntungan sepihak dengan mengorbankan pasiennya. Mereka menjual obat-obatan yang disponsori oleh Perusahaan obat dengan keuntungan yang menggiurkan. Tindakan kolusi seperti ini sebenarnya menjadi bagian perilaku koruptif di sektor kesehatan yang memberatkan  Masyarakat bahkan mengorbankan kesehatan mereka.

Tindakan sponsorship yang dilakukan melanggar etika kedokteran maupun undang-undang kesehatan. Tapi ini tidak cukup menjadi perhatian baik dari pemerintah maupun organisasi profesi karena menganggap ini sebagai hal biasa saja. Kita tidak bisa berbuat banyak dalam kasus seperti ini.

Karena terkadang pemerintah juga menjadi pelindung atau berkolusi dengan industri farmasi sehingga membiarkan ini terus berlanjut. Pelanggaran etika dan undang-undang yang cukup sistematis ini terjadi di mana-mana baik negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.

Banyak sekali laporan yang dimuat dalam jurnal ilmiah, temuan komisi pemberantas korupsi ataupun ombudsman serta Lembaga lain yang terkait, tapi tidak diproses cukup adil sehingga memberikan efek jera pada perilaku korupsi di sektor kesehatan, tapi sebaliknya terus terulang.

 Jika seorang dokter bekerja sama dengan industri farmasi, sering dia tergoda untuk memberikan resep yang tidak sesuai dengan diagnose pasien dan ini memberatkan dari aspek ekonomi. Ada juga resep yang harus ditebus di apotik lain yang tidak ada di rumah sakit karena rekomendasi dokter yang merawat tapi tentu saja dengan modus rumah sakit tidak punya obat yang dimaksud.

Ini menciderai prinsip keadilan di mana pasien harus diberikan pilihan untuk memilih apa yang dia butuhkan dan seorang tenaga medis perlu menjelaskan dengan benar. Di negara kita, cenderung pasien mendapat resep tanpa penjelasan dan pertanyaan apa-apa.

Mereka jarang diberikan hak-haknya untuk itu. Tidak semua dokter seperti itu tapi ada banyak kasus di mana dokter menganggap pasien tidak perlu tahu apa-apa tentang resep medis yang diberikan karena itu menjadi urusan dia.

Padahal, pasien dilindungi hak-haknya secara undang-undang ataupun hukum untuk diberikan penjelasan dan hak memilih terapi atau pengobatan. Kasus di mana ada temuan dari ombudsman yang mendapatkan penyalahgunaan kewenangan dari dokter yang memberikan terapi yang tidak sesuai dengan diagnosa dan kondisi pasien sesungguhnya dikarenakan biaya BPJS meningkat tajam dalam pembayaran INA CBG’s menjadi bukti juga bahwa tenaga medis rawan memanipulasi diagnose agar penanganan yang berbiaya tinggi bisa dilakukan. Sekali lagi, ini adalah kasuistik bukan general tapi tetap banyak kasus dan merugikan pasien.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved