Opini
Aib untuk Like
Ekspose aib tidak pernah menjadi jalan menuju kebaikan bersama. Ia hanyalah bentuk kekerasan simbolik yang merusak martabat manusia.
Oleh:
Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng dan IAIN Manado
KITA hidup di zaman ketika aib bukan lagi sesuatu yang ditutup rapat, melainkan dipamerkan dengan bangga. Media sosial menjadi panggung utama, dan perselingkuhan, konflik rumah tangga, pertengkaran keluarga, hingga luka pribadi diubah menjadi tontonan publik. Ironisnya, semakin kelam sebuah cerita, semakin ramai pula interaksi yang diperolehnya: lebih banyak like, komentar, dan share. Seolah-olah penderitaan dan kehancuran martabat adalah tiket menuju popularitas. Inilah fenomena yang saya sebut sebagai “aib untuk like”.
Mengapa hal ini terjadi? Apa implikasi etis, psikologis, dan sosio-kulturalnya? Bagaimana agama-agama memandangnya? Dan apa jalan keluar yang bisa kita tempuh agar media sosial tidak menjadi kuburan martabat, melainkan ruang perjumpaan yang membangun? Mari kita bedah bersama.
Budaya Transparansi Ekstrem
Byung-Chul Han, filsuf kontemporer Korea-Jerman, dalam The Transparency Society (2015), mengatakan: “Transparansi total adalah bentuk paksaan, bukan kebebasan.” Di era digital, kita tidak hanya dianjurkan untuk berbagi, tetapi dipaksa untuk membuka diri. Privasi dianggap kuno, sementara keterbukaan dipuja sebagai keaslian. Maka, orang berani menelanjangi sisi gelap hidupnya karena takut dianggap tidak relevan jika terlalu diam.
Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity (2000) menegaskan bahwa masyarakat modern bersifat cair: identitas rapuh, relasi rapuh, dan validasi menjadi kebutuhan mendesak. Banyak orang rela mengorbankan harga diri demi mendapatkan pengakuan sekejap berupa like atau komentar. Aib yang semestinya dijaga justru dipamerkan agar eksistensi terasa nyata.
Michel Foucault sudah mengingatkan dalam Discipline and Punish (1977) tentang panoptikon: sebuah sistem pengawasan di mana individu merasa selalu diawasi. Media sosial hari ini adalah panoptikon digital. Saat seseorang membuka aibnya, ia sebenarnya sedang tunduk pada logika pengawasan massa: eksistensinya terkonfirmasi hanya karena dilihat banyak orang.
Luka yang Dipertontonkan
Dari perspektif psikologi, ekspose aib sering dibenarkan sebagai bentuk katarsis: melampiaskan emosi dengan bercerita. Namun, katarsis digital berbeda dengan katarsis personal. Apa yang diunggah ke media sosial bersifat permanen, sulit dihapus, dan bisa direproduksi tanpa kendali. Akibatnya, luka pribadi yang semula hanya milik seseorang menjadi tontonan massal yang terus-menerus diperbarui oleh komentar dan reaksi.
Sherry Turkle dalam Alone Together (2011) menulis: “Kita semakin terhubung, tetapi juga semakin kesepian.” Orang yang mengekspose aib sebenarnya sedang mencari audiens sebagai pengganti keintiman. Namun, perhatian digital bersifat dangkal. Like dan komentar tidak pernah menyembuhkan luka; sebaliknya, sering kali memperdalam rasa hampa karena tidak ada kedekatan sejati di baliknya.
American Psychological Association (2022) mencatat adanya korelasi antara pencarian validasi digital dengan meningkatnya risiko kecemasan, depresi, bahkan bunuh diri. Artinya, ekspose aib bukan hanya tidak menyembuhkan, tetapi bisa memperparah kondisi mental seseorang.
Drama sebagai Hiburan Kolektif
Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga dengan budaya digital. Masyarakat kita sudah terbiasa menjadikan drama orang lain sebagai hiburan. Data We Are Social & Meltwater (2024) menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial, dengan konten gosip dan konflik menjadi salah satu yang paling banyak mendapat interaksi.
Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1994) menjelaskan bahwa masyarakat modern lebih sibuk dengan representasi ketimbang realitas. Skandal perselingkuhan, misalnya, sering dikemas dalam narasi dramatis, dengan potongan video atau tangkapan layar, seakan-akan itu serial televisi. Penonton ikut larut, menilai, dan menghakimi, seolah mereka juri dalam sebuah panggung sandiwara.
Inilah wajah masyarakat tontonan: penderitaan manusia berubah menjadi konsumsi massal. Kita menikmati drama orang lain bukan untuk belajar, tetapi untuk merasa lebih baik karena bukan kita yang dipermalukan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.