Opini
Tunjangan DPR dan Pragmatisme Pemilih, Menggugah Kesadaran Kolektif & Reorientasi Pendidikan Politik
FENOMENA kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering kali memicu gelombang kritik dari masyarakat
Penulis: Douglas Panit SIP
(Pegiat Literasi/Eks Ketua PWI Minahasa Selatan)
FENOMENA kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering kali memicu gelombang kritik dari masyarakat. Namun, narasi yang berkembang umumnya hanya berpusat pada moralitas para wakil rakyat yang dianggap serakah.
Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, persoalan ini memiliki akar yang jauh lebih kompleks, yaitu kebiasaan pragmatis masyarakat Indonesia sebagai pemilih. Sikap ini, yang memprioritaskan keuntungan langsung daripada idealisme, telah menciptakan sebuah ekosistem politik di mana para politisi merasa aman untuk mementingkan diri sendiri.
Pragmatisme pemilih di Indonesia bukanlah isu baru. Ini adalah warisan dari sejarah panjang di mana janji-janji politik seringkali berakhir sebagai ilusi. Masyarakat, yang lelah dengan retorika kosong, mulai menggeser fokus mereka dari gagasan besar menjadi hal-hal yang dapat langsung dirasakan.
Mereka lebih memilih kandidat yang menawarkan bantuan tunai, paket sembako, atau program-program yang memberikan manfaat instan, alih-alih yang menawarkan visi jangka panjang tentang pembangunan berkelanjutan atau reformasi birokrasi.
Dalam konteks pemilu, pragmatisme ini menjadi mata uang yang paling laku. Para calon legislatif (caleg) tidak lagi berlomba-lomba dengan ide atau program yang cemerlang, melainkan dengan seberapa efektif mereka dapat “menyentuh” konstituennya secara langsung.
Mereka menginvestasikan dana besar untuk kampanye yang bersifat transaksional, membeli suara dengan janji atau barang, dan membangun citra sebagai sosok yang dermawan, bukan sebagai negarawan yang berintegritas.
Kenyataan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya demokcrasy for sale. Salah satu teori yang menjadi arus utama ialah Klientelisme Politik: Klientelisme adalah hubungan pertukaran antara politisi (patron) dan pemilih (klien).
Politisi memenangkan suara bukan karena program atau ideologi yang mereka tawarkan, melainkan karena mereka memberikan "imbalan" langsung kepada pemilih. Imbalan ini bisa berupa uang tunai, barang (seperti sembako), atau proyek-proyek kecil untuk masyarakat. Praktik ini sering dikenal dengan istilah politik uang atau "serangan fajar" saat pemilu. Begitu seterusnya 'perjudian' politik itu mainkan.
Setelah berhasil duduk di kursi parlemen, para anggota DPR ini menghadapi realitas investasi politik yang telah mereka lakukan. Mereka telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memenangkan pemilu, dan kini mereka melihat tunjangan sebagai cara untuk mengembalikan modal tersebut, bahkan dengan keuntungan.
Kenaikan tunjangan tidak hanya dipandang sebagai hak, tetapi juga sebagai kompensasi atas biaya politik yang mahal. Ini adalah logika bisnis yang dipindahkan ke ranah politik.
Masyarakat, pada gilirannya, menunjukkan reaksi yang terbagi. Sebagian kecil mungkin melayangkan protes keras di media sosial, namun mayoritas cenderung bersikap apatis. Sikap ini muncul karena mereka merasa isu kenaikan tunjangan tidak secara langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka. Selama harga kebutuhan pokok stabil, lapangan kerja tersedia, atau bantuan sosial terus mengalir, kenaikan gaji DPR dianggap sebagai isu “orang atas” yang tidak perlu dihiraukan.
Apatisme ini memberikan sinyal yang jelas kepada para wakil rakyat. Mereka tahu bahwa selama mereka dapat menjaga stabilitas ekonomi atau terus menyalurkan bantuan-bantuan pragmatis, risiko kemarahan publik atas kenaikan tunjangan sangatlah rendah.
Ini menciptakan sebuah siklus yang berputar: masyarakat memilih politisi pragmatis, politisi tersebut kemudian bertindak pragmatis dengan mementingkan kesejahteraan pribadi, dan masyarakat tetap diam karena keuntungan jangka pendek telah memenuhi ekspektasi mereka.
Pendidikan politik yang minim juga memperburuk situasi. Banyak pemilih yang tidak memahami secara detail fungsi dan tugas DPR. Mereka tidak tahu bahwa kinerja legislatif seharusnya diukur dari produktivitas dalam membuat undang-undang yang pro-rakyat, bukan dari seberapa banyak sumbangan yang diberikan saat reses. Akibatnya, mereka tidak memiliki landasan yang kuat untuk mengkritik atau menuntut pertanggungjawaban para wakilnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.