Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Dari Ojol ke Wamenaker: Ironi Korupsi dan Krisis Etika Aktivisme Pragmatik

Noel tampaknya menangis bukan karena menyesali penderitaan buruh, melainkan karena takut kehilangan jabatan, kuasa, dan kenyamanan.

|
Tribunnews/Jeprima
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel menangis saat digiring bersama tahanan lainnya menuju ruang konferensi pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025). KPK menetapkan Noel beserta 10 orang lainnya menjadi tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar pada 20-21 Agustus 2025. Noel ditangkap di Jakarta terkait dugaan pemerasan terhadap sejumlah perusahaan dalam pengurusan sertifikasi K3. Selain itu, KPK juga menyita 22 kendaraan dari operasi senyap yang dimaksud. 

Oleh: 

Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd 

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pileneng (STFSP) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado

OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel kembali membuka luka lama bangsa ini: korupsi bukan hanya soal angka rupiah yang digerogoti dari kas negara, tetapi juga soal kehancuran moral, runtuhnya etika aktivisme, dan krisis kepemimpinan publik.

Noel, yang dulu dikenal sebagai tukang ojek online dan kemudian meniti jalan politik melalui Jokowi Mania, adalah potret manusia Indonesia modern yang “melesat cepat” dari bawah menuju kursi kekuasaan. Dari ojol menjadi relawan Jokowi, lalu mendadak diorbitkan sebagai Komisaris Utama PT Mega Eltra, bergeser menjadi relawan Prabowo Mania 08, gagal caleg dari Gerindra, namun tetap mendapat posisi empuk sebagai Wamenaker merangkap Komisaris Pupuk Indonesia.

Perjalanan ini seolah menggambarkan sebuah “kisah sukses” yang penuh paradoks. Aktivis jalanan yang semestinya berpihak pada wong cilik justru terjerembab pada kasus pemerasan terkait pengurusan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang langsung menyentuh jantung kehidupan buruh dan pengusaha.

Tragisnya, ketika diperkenalkan sebagai tersangka, Noel menangis dan berharap Prabowo memberi amnesti kepadanya, seakan korupsi adalah kesalahan kecil yang bisa ditebus dengan belas kasih politik, bukan dengan proses hukum.

Aktivisme dan Krisis Autentisitas

Filsafat politik mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan sarana untuk memperkaya diri. Hannah Arendt (1958) dalam The Human Condition menekankan pentingnya “vita activa”—hidup yang dijalani dengan tanggung jawab dalam ruang publik. Aktivis yang sejati mestinya menjaga integritas, bukan menjadikan aktivisme sebagai “tangga” menuju rente kuasa.

Noel adalah representasi dari aktivisme pragmatik. Dari relawan menjadi pejabat, dari pejuang rakyat menjadi pelayan kekuasaan. Autentisitas yang semula melekat pada identitasnya sebagai relawan berubah menjadi kepalsuan ketika ia menukar idealisme dengan kepentingan pribadi.

Secara filosofis, korupsi bukan hanya kejahatan hukum, tetapi juga kejahatan terhadap eksistensi manusia. Dengan merampas hak buruh melalui pemerasan K3, Noel telah mereduksi nilai manusia menjadi angka rupiah.

Rasa Syukur yang Hilang

Etika publik menuntut pejabat negara untuk hidup dalam kesederhanaan, menghormati amanah, dan bersyukur atas jabatan yang diemban. Dalam pandangan Alasdair MacIntyre (1981) dalam After Virtue, masyarakat modern kehilangan “virtue” atau kebajikan ketika lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kebaikan bersama. 

Noel, yang dulunya berjuang dari posisi bawah, semestinya lebih peka terhadap penderitaan rakyat kecil. Namun justru sebaliknya: pragmatisme dan kerakusan mengalahkan rasa syukur. Etika sosial yang seharusnya dibangun dari empati berubah menjadi sikap sombong, bahkan menuntut belas kasihan politik ketika terjerat hukum. 

Ironi ini menunjukkan bahwa korupsi lahir dari mentalitas “tidak pernah cukup”. Apapun posisi dan jabatan, tanpa rasa syukur, seseorang akan tetap merasa miskin sehingga mencari jalan pintas untuk memperkaya diri.

Buruh Sebagai Korban Ganda

Kasus Noel juga menggambarkan betapa buruh dan pengusaha kecil di Indonesia terus-menerus menjadi korban. Dalam teori konflik Karl Marx (1867) dalam Das Kapital, buruh selalu berada dalam posisi subordinat. Namun ketika pejabat yang seharusnya melindungi mereka justru memeras dengan dalih pengurusan K3, maka terjadi eksploitasi ganda: pertama, eksploitasi struktural oleh sistem kapitalisme; kedua, eksploitasi birokratis oleh pejabat korup. Dampaknya bukan hanya finansial, tetapi juga psikologis: buruh kehilangan kepercayaan kepada negara. Buruh yang harusnya terlindungi malah diperas, dan pejabat publik yang diharapkan menjadi “advokat sosial” justru menjadi pemangsa.

Air Mata yang Terlambat

Tangisan Noel ketika ditetapkan sebagai tersangka KPK lebih menyerupai drama penyesalan yang terlambat. Dari perspektif psikologi moral Lawrence Kohlberg (1981), kesadaran moral seseorang berkembang dari tingkat egosentris (takut dihukum) ke tingkat konvensional (tunduk pada norma) hingga post-konvensional (prinsip universal). 

Noel tampaknya berhenti di level egosentris: ia menangis bukan karena menyesali penderitaan buruh, melainkan karena takut kehilangan jabatan, kuasa, dan kenyamanan. Tangisan itu adalah cerminan krisis moral yang dalam: menangisi diri sendiri, bukan menangisi korban korupsi.

Relawan, Pragmatisme, dan Retaknya Hubungan

Kasus ini juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional. Publik tetap meyakini bahwa Noel adalah “orang Jokowi”, meski belakangan menempel ke Gerindra dan Prabowo. Ketika gagal caleg, ia seolah hanya “menumpang” pada Gerindra.

OTT KPK terhadap Noel memberi sinyal buruk bagi relasi politik: Bagi Prabowo, kasus ini bisa merusak citra pemerintahan barunya. Apalagi Noel sempat menjadi simbol dukungan bagi dirinya melalui Prabowo Mania. Bagi Jokowi, kasus ini memperlihatkan sisi gelap “politik relawan” yang terlalu sering dijadikan batu loncatan bagi jabatan publik. Politik relawan akhirnya dipersepsikan publik bukan lagi sebagai gerakan tulus, tetapi sebagai jalur instan menuju kekuasaan. Noel menjadi simbol kegagalan integritas dalam politik relawan Indonesia.

Korupsi dan Tanggung Jawab Negara

Secara yuridis, kasus Noel memperlihatkan pentingnya supremasi hukum. Korupsi, apapun modusnya, adalah tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang merampas hak sosial-ekonomi rakyat. Undang-Undang Tipikor (1999/2001) secara tegas mengatur hukuman berat bagi pejabat publik yang melakukan pemerasan. Permintaan Noel agar Prabowo memberi amnesti adalah bukti ketidakpahaman hukum. Amnesti hanya berlaku untuk kasus politik tertentu, bukan tindak pidana korupsi. 

Korupsi tidak bisa dihapus dengan belas kasihan politik, melainkan harus diproses dengan hukum yang adil. Kasus ini sekaligus menjadi ujian bagi KPK yang kini sering diragukan independensinya. Apakah lembaga antirasuah ini mampu berdiri tegak menghadapi tekanan politik, atau justru kembali tunduk pada kompromi?

Krisis Teladan Publik

Kasus Noel adalah cermin besar tentang krisis teladan publik di Indonesia. Dari ojol menjadi Wamenaker seharusnya bisa menjadi cerita inspiratif tentang meritokrasi. Namun yang terjadi adalah sebaliknya: kisah jatuhnya seorang aktivis ke dalam jurang korupsi.

Filsafat mengajarkan tentang autentisitas (Arendt, 1958), etika menekankan kebajikan (MacIntyre, 1981), psikologi menyoroti tangisan palsu (Kohlberg, 1981), politik mengungkap pragmatisme, sosial menunjukkan korban yang ditelantarkan (Marx, 1867), dan hukum menuntut keadilan (UU Tipikor, 1999/2001). Semua dimensi itu berpadu dalam satu kalimat sederhana: korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat!

Bangsa ini membutuhkan pejabat yang bersyukur, aktivis yang tulus, dan relawan yang konsisten. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan drama air mata yang datang terlambat, tanpa pernah ada pemulihan nyata bagi rakyat yang terus terjerat kemiskinan. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved