Opini
Putusan MK dan Demokrasi Terbelah Dua
Salah satu efek paling nyata dari pemilu serentak total adalah tertelannya isu-isu lokal oleh arus besar isu nasional.
Tapi selama ini, legislatif justru gagal merespons dinamika dan kegagalan sistem sebelumnya dengan tindakan legislatif yang konkret.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menjadi tidak relevan secara struktural setelah putusan MK.
Ironisnya, lembaga yang diberi wewenang untuk membuat undang-undang justru tertinggal dari lembaga yudikatif dalam soal reformasi pemilu. Ini adalah anomali kelembagaan yang berbahaya bagi ketertiban hukum.
DPR harus segera menyusun ulang sistem pemilu secara holistik dan responsif, bukan sekadar menyesuaikan jadwal.
Harus ada keberanian untuk menyusun sistem yang menjawab tantangan pemilu ke depan: keselarasan pusat-daerah, efisiensi anggaran, integritas pemilu, serta keterlibatan publik yang bermakna.
Demokrasi Tak Cukup dengan Kotak Suara
Ketika malam menepi di Break Coffee dan obrolan berakhir, tersisa gema dentingan bola biliar dan gelas-gelas kosong beraroma kopi.
Tapi demokrasi tak boleh sekosong itu. Ia harus tetap dijaga, dikritisi, dan diperjuangkan, bukan hanya oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi, tapi juga oleh masyarakat yang sadar akan pentingnya satu suara.
Putusan MK mungkin berhasil membelah beban teknis dalam kotak suara, tapi belum tentu berhasil membelah beban ketimpangan kekuasaan.
Tanpa partisipasi yang otentik, tanpa reformasi sistem yang menyeluruh, dan tanpa keberanian legislatif untuk memperbaiki kerangka hukumnya, kita hanya akan menciptakan demokrasi prosedural tanpa jiwa, demokrasi yang rapi di atas kertas, tetapi kosong di dalam kenyataan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.