Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Putusan MK dan Demokrasi Terbelah Dua

Salah satu efek paling nyata dari pemilu serentak total adalah tertelannya isu-isu lokal oleh arus besar isu nasional.

HO
Baso Affandi. Direktur Eksekutif Barometer Suara Indonesia. 

Oleh: Baso Affandi
Direktur Eksekutif Barometer Suara Indonesia. Warga Kota Manado, Sulawesi Utara

DI SUDUT Lapangan Tikala, Kota Manado, Sulawesi Utara. Di tengah denyut kota yang tak pernah tidur, gagasan dan kehangatan mencoba mengintip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru dari pojok Break Coffee. 

Aroma kopi hitam menyeruak. Bola biliar berdentum di atas meja sembari menyimak obrolan ringan sampai perdebatan serius tentang masa depan bangsa.

Keresahan politik, candaan sosial, dan semangat kebersamaan bertemu. Maka tak heran jika putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 pun menjadi salah satu topik utama yang menyusup ke dalam cangkir-cangkir kopi yang menghangatkan malam.

Redesign Pemilu: Titik Jenuh dan Tafsir Radikal Konstitusi

Putusan MK ini menegaskan bahwa pemilu nasional (DPR, DPD, dan Presiden) tetap dilakukan secara serentak.

Namun, untuk pemilihan DPRD dan pilkada, harus diberi jeda antara 2 hingga 2,5 tahun.

Ini adalah perubahan besar dari model 'serentak total' yang dijalankan sejak 2019, sebuah model yang selama ini dianggap sebagai bentuk efisiensi politik dan logistik. Namun realitasnya jauh lebih rumit.

Pemilu serentak total ternyata menyimpan kelelahan struktural: beban logistik yang luar biasa, waktu kampanye yang padat dan membingungkan hingga pemilih yang kehilangan fokus dalam menentukan pilihan pada banyak tingkatan kekuasaan.

Situasi ini menciptakan kondisi yang mengancam kualitas partisipasi dan representasi.

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi memilih untuk tidak sekadar menafsir pasal, tetapi merombak struktur konstitusional dengan pendekatan yang dapat dikaitkan dengan teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo (Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia, Bukan Sebaliknya, 2006) yang menyatakan bahwa hukum harus mengikuti dinamika sosial dan kebutuhan keadilan masyarakat.

Namun tindakan MK ini juga membuka ruang perdebatan tentang batas wewenangnya.

Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1945) memperingatkan bahwa peran pengadilan konstitusi adalah sebagai penafsir, bukan pencipta norma.

Maka muncul pertanyaan: Apakah MK telah keluar dari jalur sebagai penafsir hukum dan bertindak sebagai pembentuk hukum baru?

Politik Lokal: Representasi yang Kembali Bernapas

Salah satu efek paling nyata dari pemilu serentak total adalah tertelannya isu-isu lokal oleh arus besar isu nasional.

Kampanye DPRD di banyak daerah seperti sekadar pelengkap, kalah pamor dari perang simbol dan suara antara capres.

Di Manado, ini terlihat jelas: baliho caleg lokal dipenuhi wajah tokoh nasional dan isu daerah kehilangan tempatnya di panggung demokrasi.

Putusan MK memberikan ruang bagi politik lokal untuk bangkit kembali.

Pemisahan waktu antara pemilu nasional dan daerah memungkinkan masyarakat fokus pada kualitas kepemimpinan lokal, memperbesar peluang aktor lokal untuk tampil berdasarkan rekam jejak, bukan sekadar efek ekor jas politik nasional.

Hal ini sejalan dengan gagasan Jean Blondel dalam Political Leadership, Parties and Citizens (2010) bahwa demokrasi yang matang harus memisahkan arena nasional dan lokal, agar representasi politik lebih proporsional.

Larry Diamond dalam Developing Democracy (1999) juga menekankan bahwa desentralisasi politik memperkuat akar demokrasi dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan otentik.

Namun demikian, perlu diingat bahwa pemisahan waktu ini juga berpotensi memicu disharmoni antara pemerintah pusat dan daerah.

Karena adanya jeda waktu antara pemilihan legislatif pusat dan daerah bisa menciptakan ketimpangan legitimasi politik serta agenda pembangunan yang tak sinkron.

Solusinya bukan hanya pemisahan waktu, tetapi desain ulang sistem pemerintahan yang menyeluruh dan integratif.

Etika Pemilu: Dari Efisiensi ke Kemanusiaan

Tragedi Pemilu 2019 menjadi bukti bahwa demokrasi elektoral kita belum ramah terhadap manusianya.

Lebih dari 800 petugas KPPS meninggal dunia, mayoritas karena kelelahan ekstrem akibat beban kerja yang tak manusiawi.

Dalam konteks ini, MK tampaknya ingin membangun kembali etika pemilu — bahwa demokrasi bukan hanya harus adil, tetapi juga harus manusiawi.

Dengan memisah waktu, MK mencoba mengurangi tekanan teknis dan fisik terhadap penyelenggara, peserta, dan pemilih. Ini langkah penting secara moral. Namun, langkah ini bukan tanpa risiko.

Dua kali pemilu berarti dua kali biaya logistik, dua kali kampanye, dua kali potensi konflik, dan dua kali pekerjaan bagi aparat negara.

Jika tidak diatur secara strategis, keputusan ini bisa menjadi bumerang yang menghasilkan 'fatigue demokrasi' di mana pemilih merasa jenuh, tidak lagi antusias, dan partisipasi berubah menjadi sekadar rutinitas administratif.

Legislasi dan Ketertinggalan Institusional

Putusan MK ini juga secara tidak langsung menelanjangi kelemahan DPR. Gagasan tentang jeda antara pemilu nasional dan daerah sebenarnya telah lama menjadi wacana akademik.

Tapi selama ini, legislatif justru gagal merespons dinamika dan kegagalan sistem sebelumnya dengan tindakan legislatif yang konkret.

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menjadi tidak relevan secara struktural setelah putusan MK.

Ironisnya, lembaga yang diberi wewenang untuk membuat undang-undang justru tertinggal dari lembaga yudikatif dalam soal reformasi pemilu. Ini adalah anomali kelembagaan yang berbahaya bagi ketertiban hukum.

DPR harus segera menyusun ulang sistem pemilu secara holistik dan responsif, bukan sekadar menyesuaikan jadwal.

Harus ada keberanian untuk menyusun sistem yang menjawab tantangan pemilu ke depan: keselarasan pusat-daerah, efisiensi anggaran, integritas pemilu, serta keterlibatan publik yang bermakna.

Demokrasi Tak Cukup dengan Kotak Suara

Ketika malam menepi di Break Coffee dan obrolan berakhir, tersisa gema dentingan bola biliar dan gelas-gelas kosong beraroma kopi.

Tapi demokrasi tak boleh sekosong itu. Ia harus tetap dijaga, dikritisi, dan diperjuangkan, bukan hanya oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi, tapi juga oleh masyarakat yang sadar akan pentingnya satu suara.

Putusan MK mungkin berhasil membelah beban teknis dalam kotak suara, tapi belum tentu berhasil membelah beban ketimpangan kekuasaan.

Tanpa partisipasi yang otentik, tanpa reformasi sistem yang menyeluruh, dan tanpa keberanian legislatif untuk memperbaiki kerangka hukumnya, kita hanya akan menciptakan demokrasi prosedural tanpa jiwa, demokrasi yang rapi di atas kertas, tetapi kosong di dalam kenyataan. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved