Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Dugaan Korupsi Dana Hibah GMIM dalam Perspektif Kriminologi

Kasus dana hibah ke GMIM ini bukan sekadar persoalan hukum pidana dan moralitas individu. Konflik struktural dan kelembagaan tercermin dalam kasus ini

tribunmanado.com
Tampilan halaman depan koran Tribun Manado edisi 8 April 2025 tentang penetapan lima tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Pemprov Sulut kepada Sinode GMIM oleh Polda Sulut. 

Relasi kekuasaan yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan, memungkinkan keempat tersangka yang adalah pejabat pemerintah saling berinteraksi secara struktural (biro, keuangan, keasistenan dan bahkan sekretaris provinsi), sementara tersangka yang berasal dari pemimpin GMIM memiliki hubungan baik formal dan informal dengan para pejabat dan menjadi bagian dari sistem sosial yang ada. Dalam perkembangan kasus ini, para tersangka tidak hanya melakukan bersama tetapi juga belajar dari dan memperkuat satu sama lain.

Penyimpangan ini didukung oleh nilai-nilai yang dibentuk dalam interaksi sosial yang telah menjadi tandingan terhadap nilai hukum dan etika publik yang ada. Dengan berbagai alasan dan opini masyarakat baik pro dan kontra terdapat nilai-nilai ini: “Yang penting pelayanan tetap jalan”; “Semua organisasi juga menerima hibah yang sama dan dengan cara seperti ini”; “Yang minta adalah gereja apalagi sebagai gereja dengan penganut/jemaat mayoritas”. Jika demikian, dari perspektif kriminologi, penyimpangan semacam ini sudah bukan lagi sebagai pelanggaran perorangan melainkan sebagai budaya organisasi.

Penyimpangan yang akhirnya menjadi budaya organisasi (dapat dilihat pada kasus hibah ini yang terjadi pada hibah daerah tahun 2020, 2021, 2022 dan 2023) mencerminkan organisasi keagamaan dan birokrasi pemerintahan telah membentuk struktur sosial yang mendukung reproduksi penyimpangan, di mana ketiadaan kontrol internal (gereja dan pemerintah) yang efektif serta adanya saling ketergantungan antara moralitas simbolik dari gereja dan kekuasaan administratif dari pemerintah.

Jika hal ini benar-benar terjadi, maka berdasarkan teori yang ada ini, para tersangka atau pelaku bukanlah orang-orang yang terlahir sebagai “koruptor’, tetapi mereka belajar, beradaptasi dan menormalisasi perilaku menyimpang karena didukung oleh struktur relasional yang intens dan saling menguntungkan.

4. Konflik Status – Peran (Status-Role Conflict) dan Konflik Kepentingan (Conflict of
Interest)

Daerah Sulawesi Utara, terutama di kawasan Minahasa raya (wilayah kerja Sinode GMIM), merupakan basis komunitas religius yang kuat. Oleh karena itu terdapat relasi sosial antara pejabat pemerintahan dan pimpinan lembaga keagamaan yang begitu erat. Umumnya seorang pejabat pemerintahan tidak hanya sebagai anggota jemaat saja melainkan memiliki peran ganda sebagai pimpinan atau pengurus aktif di komunitas-komunitas religius yang ada.

Konflik Status-Peran ini dipelopori oleh Ralph Linton dan dikembangkan oleh Robert K Merton. Kasus dugaan korupsi dana hibah kepada GMIM yang melibatkan empat pejabat pemerintah daerah dan seorang pemimpin tertinggi gereja, dalam perspektif kriminologi bukan sekadar pelanggaran prosedural atau administrasi dana hibah, melainkan sebagai konflik struktural yang mengakar dalam institusi baik pemerintah sebagai pemberi hibah daerah dan lembaga keagamaan seperti GMIM, yakni konflik peran (status-role conflict) dan konflik kepentingan (conflict of interest), hal ini dapat dipicu oleh tumpang tindih peran moral dan kewenangan fungsional dalam kekuasaan di kedua institusi ini.

Konflik peran muncul ketika individu memiliki lebih dari satu status sosial yang masing-masing menuntut kepatuhan terhadap nilai dan norma yang berbeda. Para pejabat daerah yang menjadi tersangka dalam kasus ini diduga mengalami status-role conflict sebagai pejabat pemerintah sekaligus jemaat dan pengurus di GMIM. Tanggung jawab administratif sebagai aparatur negara berbenturan dengan tuntutan moral dan sosial komunitas keagamaan. Dalam situasi semacam ini, keputusan cenderung dipengaruhi oleh ikatan emosional dan solidaritas komunitas, yang pada akhirnya berpotensi mendorong kompromi etis dan penyalahgunaan wewenang.

Kasus dugaan korupsi dana hibah GMIM ini menjadi kompleks dengan dimensi sosiologis dan kriminologis jika menghubungkan dengan status dan peran para tersangka, terutama empat orang tersangka yang adalah pejabat daerah sekaligus juga sebagai jemaat dan pengurus GMIM dengan peran masing-masing. Peran ganda menjadi persoalan tersendiri sebab para tersangka ini menjadi terlibat dalam peran sebagai pemberi hibah dan sekaligus bagian dari penerima dana hibah tersebut.

Dalam kasus ini, pejabat pemerintah dituntut untuk menjalankan tanggung jawab publik sesuai kewenangannya yang bersifat objektif, taat hukum dan terutama menjaga keuangan negara untuk tidak disalahgunakan. Di sisi lain, terbukti bahwa pejabat yang sama adalah jemaat dan pengurus GMIM yang memiliki komitmen emosional, spritual dan bahkan loyalitas terhadap pimpinan dan gereja. Ketika kedua status ini saling tarik menarik, para tersangka berisiko tidak hanya kehilangan objektivitas, tetapi mencampuradukkan tugas administrasi dengan misi pelayanan rohani yang diemban.

Hal ini boleh saja menjadi alasan penyidik bahwa keputusan para tersangka yang adalah pejabat daerah untuk menyetujui dan terlibat dalam proses pemberian hibah kepada gereja yang ternyata mereka ada di dalamnya, bukankah sama saja dengan memberikan keputusan anggaran kepada diri sendiri? Di sisi lain, penerima hibah yang diwakili oleh salah satu tersangka yang merupakan pemimpin tertinggi gereja yang mestinya memikul peran moral sebagai penjaga etika, justru menjadi “penerima manfaat” dari jemaatnya sendiri yang adalah pejabat birokrasi ini. Di sinilah kriminolog melihat terjadi penyimpangan sistemik dan kebingungan nilai khususnya etika.

Dari penyidikan kasus ini dan dari pendalaman informasi publik yang ada, terdapat loyalitas ganda yang mengaburkan kepentingan publik. Empat tersangka sebagai pejabat pemerintah tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai pejabat negara, melainkan juga pada saat bersamaan atau setidaknya pada waktu tertentu dalam tahun-tahun dugaan penyimpangan tersebut telah menjadi bagian dalam berbagai kegiatan internal gereja. Dengan demikian patut diduga terjadi loyalitas ganda dan rawan terhadap perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang ada pada tersangka tersebut.

Hal ini memang tidak gampang membuktikan perbuatan tersangka pada saat menyetujui dana hibah, apakah mereka bertindak sebagai aparatur negara, atau sebagai bagian dari gereja? Selanjutnya dalam melakukan pengawasan sebagaimana melekat pada kewenangan mereka sebagai pemberi hibah, apakah mereka menjaga kepentingan publik, atau kepentingan lembaga keagamaan di mana mereka sendiri berafiliasi.

Boleh dikata bahwa, dalam kasus ini terjadi karena memang sejak awal tidak ada pemisahan peran dan fungsi yang tegas, sehingga pengawasan menjadi lemah karena pelaku dan pengawas adalah individu yang sama dalam dua peran yang berbeda. Di sisi lain moralitas agama yang terbangun justru menjadi tameng yang mengaburkan akuntabilitas publik.

Yang paling mengkhawatirkan adalah proses normalisasi penyimpangan, yang mana para tersangka adalah figur-figur publik yang dipercaya secara religius dan bahkan menjadi tokoh agama dan sosial, sehingga hal ini dianggap “wajar” dan bahkan “mulia”. Meski dalam hal tertentu, negara memang perlu mendapat legitimasi moral dari gereja walau dengan jalan memberikan dana hibah.

Penutup

Dugaan korupsi dana hibah ini telah menjerat empat tersangka yang adalah pejabat pemerintah daerah dan satu tersangka pemimpin tertinggi GMIM. Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum pidana dan moralitas individu. Konflik struktural dan kelembagaan tercermin dalam kasus ini. Dari perspektif kriminologi, telah memberikan pemahaman tentang bagaimana penyimpangan dapat muncul, tumbuh dan menjadi bagian dari praktik yang dinormalisasi di lingkungan sosial tertentu, dalam hal ini dalam lembaga keagamaan dan lingkup birokrasi di Sulawesi Utara.

Para pejabat yang menjadi tersangka dalam kasus ini menghadapi konflik status dan peran yang fundamental. Satu sisi sebagai pejabat pemerintahan yang memiliki tanggung jawab administrasi dan akuntabilitas publik, namun di sisi lain sebagai jemaat aktif dan pengurus di GMIM yang secara spiritual menuntut loyalitas emosional dan pengabdian keagamaan. Konflik peran ini dapat menimbulkan disonansi struktural dan pemisahan etis yang jelas sehingga terjadi penyimpangan.

Selain konflik status-peran para tersangka juga mengalami konflik kepentingan karena para pejabat tersebut tidak hanya mengatur dan menyetujui dana hibah, tetapi juga terkait langsung pada lembaga penerima dana hibah yakni GMIM. Posisi otoritatif sebagai pejabat pemerintahan ini digunakan untuk kepentingan institusi GMIM yang secara afiliasi adalah rumah spiritual dan sosial mereka. Ini merupakan konflik kepentingan yang parah dan menyalahi prinsip dasar etika publik. Akuntabilitas hancur ketika proses pengambilan keputusan dan pengawasan dikendalikan oleh oleh aktor atau pelaku yang juga adalah penerima manfaat.

Dari perspektif kriminologi, kita melihat reaksi masyarakat baik pro maupun kontra, dan dengan pembenaran yang dilakukan oleh para tersangka baik langsung maupun melalui penasihat hukum mereka terdapat dalih-dalih moral atau pembelaan kolektif, seperti demi kepentingan pelayanan gereja, pembangunan fasilitas rohani atau untuk kebaikan umat serta rasionalisasi lainnya adalah peredam psikologis terhadap rasa bersalah dan membuat perbuatan mereka terasa wajar. Seakan pencarian dana hibah dan pemanfaatannya terutama empat tahun tersebut adalah bagian dari “tujuan mulia”.

Dari teori differential association theory, penyimpangan adalah hasil dari proses belajar melalui interaksi sosial. Para tersangka kemungkinan besar belajar dan menormalisasi praktik korupsi secara kolektif dalam jejaring sosialnya. Boleh jadi di lingkungan pemerintahan maupun dalam lembaga keagamaan. Jika nilai-nilai penyimpangan lebih dominan dibandingkan dengan nilai-nilai hukum, maka tindakan korupsi menjadi budaya organisasi yang diwariskan dan direplikasi.

Dari waktu terjadinya dugaan korupsi dana hibah ini dalam 4 tahun anggaran, menunjukkan bahwa konsep penyimpangan terstruktur berlaku, di mana penyimpangan ini tidak lagi bersifat insidental, tetapi seakan tumbuh dan dilegitimasi oleh sistem yang lemah, longgar dan bercampur. Batas antara fungsi pelayanan rohani dan fungsi administrasi publik sebagai penyelenggara pemerintahan telah menjadi kabur, dan kemudian menciptakan ruang gelap yang sulit diawasi dan dikritik.

Dari kasus ini dapat dipelajari bahwa kejahatan tidak selalu terjadi karena niat jahat individu, melainkan dapat berakar dari struktur sosial, relasi kuasa, dan norma yang keliru dalam institusi publik maupun keagamaan. Oleh karena itu ke depan perlu dengan tegas adanya regulasi terkait konflik kepentingan pejabat publik yang juga adalah pengurus lembaga keagamaan yang berpotensi sebagai penerima dana hibah. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved