Opini
Dugaan Korupsi Dana Hibah GMIM dalam Perspektif Kriminologi
Kasus dana hibah ke GMIM ini bukan sekadar persoalan hukum pidana dan moralitas individu. Konflik struktural dan kelembagaan tercermin dalam kasus ini
Dalam kesempatan yang lain, salah satu tersangka pernah membangun wacana relasi kekuasaan yang sempat viral dalam masyarakat bahwa tersangka merasa tidak terjangkau oleh hukum atau pengawasan, tersangka merasa memiliki kekuatan moral dan sosial yang tinggi sehingga membuat tersangka merasa terlindungi dari potensi sanksi hukum.
Jadi keuntungan politik dapat menjadi pengaruh yang kuat dalam kasus ini, jika bukan karena keuntungan finansial sebagaimana umumnya terjadi dalam kasus-kasus WCC, maka dengan proses hukum yang sementara berjalan, secara kriminologi faktor sosial terutama keuntungan politik yang diperoleh darinya, meski demikian perlu dibuktikan secara hukum agar tidak menjadi konsumsi sosial yang liar di tengah masyarakat.
Hal yang perlu disoroti secara kriminologis adalah hubungan antara jabatan para tersangka dengan peran pekerjaan mereka yang terkait dengan jabatannya terutama pada unsur penyalahgunaan pekerjaan terkait jabatannya (the abuse of an occupational role). Para tersangka diduga merupakan pejabat yang oleh kewenangannya masing-masing dapat melakukan penyimpangan atau kegiatan yang dilihat oleh penyidik sebagai perbuatan melawan hukum. Salah satu tersangka merupakan pengelola dana di lingkup gereja dan tokoh masyarakat yang memiliki otoritas dalam pengelolaan keuangan keagamaan.
Sutherland (Sutherland E.H., 1983) mengemukakan bahwa kejahatan ini terjadi karena adanya peningkatan rasa kebebasan dalam menjalankan aktivitas yang tidak diawasi secara ketat, boleh jadi tersangka merasa bebas melakukan apa saja karena posisinya sebagai pejabat atau pemimpin dengan jabatan otoritatif yang besar sehingga merasa tidak atau kurang diawasi baik secara internal maupun eksternal. Status sosial dan kepercayaan yang melekat pada pelaku membuat kontrol sosial terhadap mereka menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan.
Selain otoritas dan posisi yang tinggi, kepercayaan masyarakat terhadap institusi gereja dan pemimpinnya yang sangat besar menjadikan perbuatan korupsi dana hibah ini sulit terdeteksi. Apalagi kejahatan kerah putih semacam ini dilakukan dengan metode tanpa kekerasan maupun ancaman seperti pada kasus-kasus kejahatan lainnya. Metode yang digunakan sering dengan pengelolaan administrasi yang salah dan manipulasi data, ditambah kompleksitas sistem administrasi dan pengelolaan dana gereja yang sulit dilacak.
Dalam kasus GMIM, pejabat gereja berperan sebagai figur moral dan sosial yang sangat dihormati, dan hal ini sering kali membuat pengawasan terhadap tindakan mereka lebih lemah. Pengaruh status sosial ini membuat jemaat dan masyarakat merasa tidak nyaman untuk mempertanyakan atau mengkritik kebijakan gereja, yang akhirnya mengarah pada penurunan efektivitas pengawasan terhadap pengelolaan dana hibah. Meskipun dugaan korupsi ini telah terjadi setidaknya sejak 2020 hingga 2023.
Seperti pada dugaan penyalahgunaan dana hibah pada kegiatan-kegiatan yang tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan dana hibah dimaksud, namun digunakan pada kegiatan-kegiatan kepanitiaan yang tidak ditemukan pada naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).
Dampak dari kejahatan ini tentunya sangat merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat gereja. Moral sosial juga sangat terganggu, beberapa waktu masyarakat, terutama jemaat GMIM terpola dan terpecah dalam pro dan kontra. Dengan demikian, untuk mengatasi kasus seperti ini, tidak hanya diperlukan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengawasan internal maupun eksternal terhadap pengelolaan dana di institusi keagamaan.
2. Teori Netralisasi (Theory of Neutralization)
Hal yang menarik dalam dugaan kasus ini adalah para tersangka umumnya tidak merasa bersalah atau bahkan tidak mau mengaitkan dirinya dengan kasus ini sehingga melakukan berbagai penyangkalan dan atau bahkan pembenaran dalam kasus dugaan korupsi dana hibah GMIM ini. Dalam kriminologi, fenomena ini merupakan bentuk rasionalisasi atau netralisasi. Untuk menjelaskan hal tersebut Teori Netralisasi dari Gresham Sykes dan David Matza (Sykes & Matza, 1958) dapat digunakan untuk membedahnya.
Teori yang dikembangkan oleh Sykes dan Matza ini menjelaskan bahwa pelaku kejahatan kerap merasionalisasi atau membenarkan perbuatan mereka, sehingga perbuatannya baik olehnya maupun masyarakat merasa tidak bersalah. Sykes dan Matza menyebut lima jenis pembenaran atau netralisasi (Wickert, 2022):
a. Penyangkalan tanggung jawab (Denial of responsibility). Pelaku menganggap dirinya sebagai korban dari kondisi atau situasi sosial yang tidak menguntungkan;
b. Penyangkalan terhadap cedera (Denial of injury). Pelaku menganggap remeh atau mengecilkan tindakannya; tidak mengenalinya sebagai sesuatu yang tidak bermoral;
c. Penyangkalan terhadap korban (Denial of the victim). Pelaku menganggap bahwa tidak ada korban konkret dalam kasus dana hibah;
d. Kecaman dari para penghukum (Condemnation of the condemners). Pelaku menganggap bahwa polisi dan intitusi negara lainnya adalah korup, cacat, egois dan tidak adil;
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.