Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Skandal Akademik Guru Besar, Pertaruhan Etik, Moral dan Intelektual?

Dunia pendidikan kita hari-hari ini berduka karena rentetan skandal akademik yang terus terjadi di perguruan tinggi.

Editor: David_Kusuma
Dokumentasi Pribadi Adi Tucunan
Adi Tucunan (Pemerhati Pendidikan) 

Penulis: Adi Tucunan (Pemerhati Pendidikan)

SAYA menyadari, tulisan ini akan membuat para senior saya atau mereka yang punya jabatan akademik profesor akan tersinggung, oleh karena itu saya melakukan disclaimer dulu kalau tulisan ini tidak menggeneralisir semua jabatan akademik guru besar, tapi ini sangat kasuistik.

Di sini saya hanya mau menulis pandangan sederhana dengan pemahaman saya terkait kasus guru besar akhir-akhir ini.

Dunia pendidikan kita hari-hari ini berduka karena rentetan skandal akademik yang terus terjadi di perguruan tinggi. Kasus terbaru pengangkatan guru besar Universitas Lambung Mangkurat menjadi skandal besar di kementerian pendidikan kita, dengan adanya investigasi para asesor di kementerian karena meloloskan para guru besar yang memiliki skandal akademik.

Kasus ini hanyalah puncak dari gunung es yang sudah sedemikian lama dibiarkan terus terjadi, dan saya yakin ada banyak universitas yang memiliki guru besar dengan banyak skandal etik dan integritas. Sudah cukup lama diduga bahwa Kementerian pendidikan memainkan peran dalam skandal besar ini karena melibatkan oknum-oknum yang mendapatkan keuntungan finansial dari semua pengurusan guru besar.

Pengurusan guru besar secara administratif dengan menyetor upeti demi mempercepat atau meloloskan kandidat yang belum layak sudah menjadi rahasia umum.

Jika seorang Menteri tidak mengetahui kasus seperti ini berarti dia tidak layak menjadi Menteri karena menutup mata pada kasus kejahatan akademik; dan jika dia tahu tapi membiarkan ini berarti Menteri tersebut terjebak dalam skandal yang memalukan dan sudah sepatutnya Menteri tersebut mundur dari jabatan ini, karena ketidakmampuan mengelola insititusi pendidikan dengan lebih baik apalagi kalau integritasnya dipertanyakan karena kalah dengan tekanan politik.

Dalam investigasi Tempo, pengangkatan guru besar Ketua MPR Bambang Susatyo adalah melalui lobi-lobi dengan Menristekdikti, artinya Menteri mengetahui kalau sebenarnya ada cacat dalam pengangkatan ketua MPR, karena tidak mengikuti prosedur yang benar. Seorang guru besar seharusnya adalah mereka yang aktif mengajar di kampus dan memiliki kompetensi keilmuan yang cukup luas dan punya kecakapan intelektual serta etika moral yang tinggi, bukan mereka yang hanya mengejar jabatan akademik untuk popularitas.

Kegilaan terhadap keinginan dihormati publik karena menyandang guru besar adalah kebodohan yang harus ditinggalkan. Guru besar itu adalah sebuah pengakuan dari kampus terhadap karya dan kinerja seseorang, bukan orang tersebut yang harus mengurus dan mengejar jabatan tersebut.

Lucunya di negeri ini, ada serangkaian syarat yang dibebankan kepada para akademisi untuk mengurus guru besar tapi hanya di level administrasi, bukan syarat bahwa dia memiliki integritas dan etika yang tinggi serta punya pemikiran dan pandangan ilmiah yang mumpuni.

Kesalahan kementerian pendidikan yang mensyaratkan begitu banyak aspek untuk sampai menjadi guru besar, tapi akhirnya juga menjadikan itu skandal memalukan karena ternyata pengurusan guru besar melibatkan oknum-oknum di kementerian pendidikan untuk mengais rejeki karena pengurusan guru besar itu harus mengeluarkan biaya besar.

Seandainya ada guru besar mengurus dengan membayar sekian puluh atau ratusan juta untuk mempermudah keluarnya jabatan fungsional guru besar, maka seharusnya jabatan akademik itu dicabut karena tidak layak mendapatkannya.

Skandal ini nampaknya sudah cukup luas di Indonesia dan saya pikir ini adalah sebuah ‘wabah akademik’ yang mematikan intelektual guru besar tersebut karena tidak cukup berpikir secara komprehensif dalam upaya mendapatkan gelar tersebut.

Banyak guru besar hanya menulis di jurnal atau artikel, membuat buku dan menjalanklan tridarma perguruan tinggi karena sebuah keharusan bukan karena kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, karena terbukti pendidikan tinggi di Indonesia masih berjalan di tempat, tidak melahirkan banyak pemikir dan intelektual yang bisa melakukan kajian terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat hari ini. Tulisan mereka hanya sampai di jurnal ilmiah tanpa dampak.

Karena mereka hanya mencari KUM untuk kenaikan pangkat dan jabatan akademik. Guru besar di Indonesia nampaknya menjadi sesuatu yang dikejar karena prestise bukan karena kemampuan akademik. Jangan heran, ada beberapa politisi yang menjadi guru besar atau professor kehormatan, karena lobi dan uang serta pengaruh politiknya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved