Opini
Skandal Akademik Guru Besar, Pertaruhan Etik, Moral dan Intelektual?
Dunia pendidikan kita hari-hari ini berduka karena rentetan skandal akademik yang terus terjadi di perguruan tinggi.
Bukan karena kompetensi yang dimilikinya. Seorang professor kehormatan, seharusnya dia sudah memiliki gelar professor di universitasnya, tapi karena jasa-jasanya mengajar di universitas maka dia bisa diangkat oleh universitas lain yang menggunakan jasanya itu.
Jadi, kalau seorang professor kehormatan diberikan cuma-cuma karena jasa di bidang pemerintahan atau politik, tapi tidak mengajar, seharusnya dia tidak boleh diberikan predikat professor. Sungguh sebuah kesia-siaan diberikan predikat guru besar tapi tidak sering mengajar, namanya saja Guru pakai Besar lagi, seharusnya dia mengajar bukan ada di luar kampus.
Ketidakpahaman secara filosofis arti guru besar, membuat kita di Indonesia sangat senang dipanggil ‘Prof’ seolah-olah orang ini pintar padahal tidak mempunyai kemampuan akademis yang tinggi. Seharusnya seorang guru besar diuji kemampuannya di kampus oleh para mahasiswa, bukan hanya oleh asesor perguruan tinggi yang melacak administrasi sebagai syarat utama.
Malahan sampai pension pun dipanggil profesor padahal itu hanya melekat saat masih di kampus karena jabatan fungsionalnya.
Persoalan lain muncul adalah karena akreditasi kampus yang memberikan poin tinggi jika ada banyak guru besar di perguruan tinggi. Akibatnya banyak perguruan tinggi berlomba untuk mengejar banyaknya jabatan akademik guru besar agar kampus mereka mendapat poin tinggi dengan segala macam cara, bahkan dengan mempertaruhkan kredibilitas akademik, seperti plagiarisme, permainan uang dengan membayar kepada asesor agar diloloskan.
Nampaknya isu ini sudah lama beredar, tapi baru dibongkar sekarang secara lebih luas. Kita semua bertanya-tanya, ada apa dengan bangsa ini? Semakin banyak guru besar di kampus mengapa negeri ini tidak semakin baik? Bukankah para guru besar itu harus melahirkan generasi penerus yang memiliki kapasitas dan kompetensi? Tapi mengapa kita tidak mampu bersaing secara kualitatif di dunia global? Ekosistem yang buruk di sebuah perguruan tinggi, akan memperburuk citra pendidikan tinggi di mata dunia, salah satunya adalah menciptakan professor abal-abal.
Harus diakui bahwa panggilan ‘Prof’ membuat banyak orang merasa diri terhormat dan lebih dari orang lain, dan itu yang dikejar oleh segelintir orang. Guru besar seharusnya hanya digunakan di kampus karena itu adalah jabatan akademik bukan gelar akademik, dia tidak boleh dipakai di sembarang tempat kecuali dia melaksanakan semua tugas yang terikat dengan statusnya sebagai guru besar, tapi kalau dalam aktivitas sosial seharusnya dia melepas jabatan tersebut.
Pemerintah melalui kementerian pendidikan harus dibersihkan dari para mafia dan pedagang jual beli jabatan guru besar, karena mereka adalah sumber masalahnya. Ide bahwa guru besar dikembalikan ke kampus masing-masing untuk diangkat adalah sebuah alternatif.
Tapi saat ini, kita juga tidak bisa percaya ke universitas karena disabilitas dalam integritas juga. Siapa yang bisa menjamin kalau dikembalikan ke universitas akan diproses lebih baik dan terbuka serta transparan. Ini menyulitkan juga kalau dikembalikan ke dewan guru besar kampus untuk menilai, bisa saja terjadi like and dislike.
Tidak boleh memberikan beban kepada universitas untuk menciptakan sebanyak mungkin guru besar karena itu ada dalam syarat akreditasi. Hal-hal teknis tidak boleh melampaui persoalan substansial, yaitu menciptakan guru besar yang benar-benar punya etika, integritas, moral serta pemikiran terbaik yang dimiliki, agar benar-benar para mahasiswa yang bersentuhan langsung dengan guru besar seperti ini akan mendapat ilmu yang benar-benar tajam.
Tidak boleh guru besar lebih banyak mengurus proyek cari uang di luar kampus, tapi mengabaikan hakikatnya sebagai guru besar untuk mengajar. Tidak ada pekerjaan paling istimewa dari seorang guru selain mengajar murid-muridnya, bukan mencari jabatan, uang dan prestise di mana-mana.
Guru besar harus dinilai secara berkala dampak yang ditimbulkan karena kehadiran dan karyanya. Karena ada guru besar juga yang tidak bisa menuangkan buah pemikirannya dalam tulisan, tapi hanya mencontek dan mensintesis saja karya orang lain tanpa tulisan yang jelas dengan pemikiran orisinil.
Guru besar juga dinilai secara linier berdasarkan keilmuannya, padahal di negara maju seorang guru besar tidak harus diangkat karena linieritas dengan gelar S3 atau Doktoralnya tapi dia memiliki lintas disiplin ilmu. Dan dia diangkat dengan gelar guru besar karena kepakarannya pada ilmu yang ditekuni bukan pada gelar doktoralnya. Kita harus mencoba untuk membuat pengangkatan guru besar itu harus relevan dengan perkembangan jaman dan bukan hanya secara tradisi akademis semata.
Guru besar itu ada yang memiliki kompetensi di bidang riset, ada juga yang lebih menitikberatkan pada pengajaran. Akibat penyemarataan semua guru besar diwajibkan untuk melakukan riset maka akan muncul pabrik guru besar instan. Setelah memperoleh guru besar dia tidak akan lagi berkarya.
Penilaian guru besar harusnya mengacu lebih kepada dampak yang ditimbulkan, bukan pada sekumpulan syarat yang terdokumentasi dengan baik, tapi tanpa dampak yang jelas. Biarkan saja para guru besar di bidang pengajaran berfokus kepada pengajaran dan tidak disuruh untuk menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional, karena tidak semua jurnal internasional bisa memberikan dampak luas kepada masyarakat, yang ada hanya dipakai sebagai kutipan-kutipan saja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.