Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ulasan Buku

Review Buku: Kisah Jean Calas dan Pengadilan yang Culas

Peradilan Prancis abad ke-19 tak punya asas "praduga tak bersalah" atau cara lain untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah.

Dokumen Nur Allan Lasido
Review Buku Traktat Toleransi terjemahan dari Trait’e Sur La Tolerance karya Voltaire. 

Oleh: Nur Allan Lasido
Dosen IAIN Manado

KISAH ini bermula dari percakapan ringan di meja makan.

Jean Calas (62 tahun) seorang pedagang kain di jalan Filatiers Toulouse, Prancis Selatan, sedang makam malam bersama keluarganya di apartemen mereka.

Saat hidangan peNcuci mulut disajikan, Marc Antoine anak sulung Jean Calas itu turun ke lantai dasar.

Semua orang di meja makan itu menduga ia jalan-jalan keliling Kota. Selayaknya anak muda waktu itu. Saat mereka kenyang- turun satu-satu pamit pulang.

Mereka tiba di depan pintu, Marc-Antoine, seorang pria rupawan dan pemurung yang doyan bermain biliar dan berjudi, baru saja ditemukan tewas.

Anggota keluarga itu histeris. Keluarganya mengatakan bahwa dia telah dibunuh, bahkan mungkin ditusuk dengan sebilah pisau oleh seseorang yang menyelinap masuk ke toko yang gelap dari jalan berbatu.

Pada malam itu tanggal 13 Oktober 1761 awan hitam selimuti Prancis. Tangisan terdengar dari toko Jean Calas,

Seketika banyak orang berkumpul di dekat TKP. Pihak berwajib berdatangan. Seorang dokter dan dua ahli bedah, dihadirkan untuk memeriksa mayatnya.

Sialnya mereka hanya menemukan tanda luka di leher.

Baca juga: Pengalaman Berpuasa di Manado : Antara Budaya dan Keberagamaan

Mereka menandatangani sebuah laporan yang menyangkal informasi keluarga terkait dugaan penyusup yang membawa pisau.

Merek menyimpulkan bahwa Marc-Antoine, yang berusia dua puluh sembilan tahun, telah digantung ketika masih hidup, baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
.
Dari sinilah kisah ini geger. kejadian tersebut memicu kecurigaan dan spekulasi. Seorang tetangga yang curiga melaporkan kematian tersebut kepada otoritas kehakiman setempat.

Entah mimpi buruk apa semalam, Jean Calas lelaki flamboyant-tua menjadi tersangka dalam penyelidikan.

Alasannya adalah Jean dituduh membunuh anaknya karena mencoba untuk mencegahnya pindah ke agama yang berbeda dari bapaknya itu.
.
Jean Calas ditangkap dan diadili. Proses pengadilan dinilai tidak adil karena didasarkan pada prasangka agama.

Meskipun tidak ada bukti yang jelas menunjukkan keterlibatannya dalam pembunuhan anaknya, Jean Calas dihukum mati dengan cara paling brutal. Sistem ekseskusi di luar rasa kemanusian.

Dia dieksekusi mati melalui hukuman roda atau dikenal sebagai roda eksekusi yaitu metode penyiksaan yang digunakan untuk eksekusi di di depan publik berlaku di Eropa sejak zaman kuno, abad pertengahan hingga abad ke-19.

Caranya algojo mematahkan tulang-tulangmu atau memukuli sampai mati lalu tubuh kakumu akan diputer di atasi roda padati lalu diarak massa. Praktik ini dihapuskan di Bavaria 1813.

Kisah ini menarik perhatian dan simpatik Voltaire, seorang filsuf Prancis, penulis esais, terkemuka di Eropa. Karya-karyanya selalu hidup, penuh semangat dan diselingi candaan.

Baca juga: Meningkatkan Kecerdasan Sosial Melalui Momentum Ramadhan

Tapi semenjak tragedi keluarga Calas pada1760,  Voltaire kehilangan selera humornya. Dia menjadi pribadi dingin. Bahkan mungkin jarang senyum.

Di tengannya kisah ini ditulis secara dramatis-emosional dengan tajuk Trait’e Sur La Tolerance (Traktat Toleransi).

Sebagai sebuah traktat ini menunjukkan betapa kasus ini ditulis secara serius, panjang dan mendalam, yang secara sistematis merekonstruksi sebuah fakta.

Nalurinya diuji tergerak oleh rasa keadilan publik yang runtuh selayaknya dialami keluarga Calas.

Ia mulai menyusun upaya penyidikan dan advokasi tentang kasus ini. Di benaknya ia meyakini bahwa Jean Calas tidak bersalah dan bahwa keputusan pengadilan tersebut dipengaruhi prasangka agama.
.
Voltaire memulai -mempromosikan-memperjuangkan kasus Calas untuk mempengaruhi opini publik dan pemerintah.

Akhirnya pada tahun 1765, kasus Calas baru diakui sebagai tindakan culas mal-praktik system peradilan kala itu.

Calas korban ketidakadilan dan diampuni secara anumerta artinya terdakwanya sudah dieksekusi mati bertahun-taun baru ada novum (petujuk baru).

Kasus ini menjadi salah satu contoh paling tragis dari ketidakadilan yang terjadi dikarenakan intoleransi agama pada abad ke-18 di Prancis. Demikian ucap Voltaire.

Ken Amnstrom sempat menulis esai panjang terkait kisah Calas ini. Esainya diterbitkan pada The Paris Review dengan judul Broken on the Wheel.

Tulisannya itu diawali dengan kalimat heroik “sebuah kasus hukum yang mengerikan mengubah Voltaire menjadi seorang pejuang bagi mereka yang tidak bersalah”.

Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas "praduga tak bersalah" atau cara lain untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah.

"Satu bisikan dapat mematikan api kebenaran. (*)

Sumber: Tribun Ternate
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved