Opini
Aib untuk Like
Ekspose aib tidak pernah menjadi jalan menuju kebaikan bersama. Ia hanyalah bentuk kekerasan simbolik yang merusak martabat manusia.
1. Psikologis: Individu yang membuka aibnya bisa terjerat rasa malu, penyesalan, bahkan depresi. Korban gosip mengalami trauma ganda: terluka karena peristiwa itu sendiri, sekaligus dilukai oleh publikasi massal.
2. Sosial: Budaya ini merusak kepercayaan dalam relasi keluarga dan masyarakat. Orang takut berbagi secara intim karena khawatir akan dipublikasikan.
3. Etis: Martabat manusia dikorbankan demi sensasi. Nilai keutamaan digeser oleh popularitas instan.
4. Kultural: Masyarakat terbiasa menjadikan gosip sebagai hiburan. Normalisasi ini berbahaya karena menciptakan generasi yang kurang peka terhadap penderitaan orang lain.
5. Hukum: Banyak kasus berakhir dengan laporan pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, bahkan konflik fisik.
Jalan Keluar: Dari Gosip ke Empati
Apa yang bisa kita lakukan? Ada beberapa langkah konkret:
• Literasi Digital Etis: Pendidikan publik harus menekankan etika bermedia sosial, bahwa tidak semua hal patut diunggah.
• Ruang Aman Psikologis: Orang yang terluka perlu diarahkan untuk mencari konseling privat, bukan panggung publik digital.
• Regulasi dan Penegakan Hukum: UU ITE perlu digunakan secara bijak untuk melindungi korban, bukan sekadar menjerat orang lemah.
• Kampanye Empati Digital: Kita perlu membangun budaya menolong, bukan mempermalukan. Hashtag, gerakan komunitas, dan program media bisa berperan di sini.
• Spiritualitas Digital: Agama-agama perlu hadir di ruang maya dengan suara profetik, bukan hanya ritualistik, agar media sosial tidak kehilangan dimensi moral.
Penutup
Fenomena “aib untuk like” adalah cermin krisis zaman kita: krisis moral, psikologis, dan spiritual. Byung-Chul Han sudah memperingatkan bahaya transparansi ekstrem. Bauman mengingatkan rapuhnya identitas cair. Foucault menunjukkan logika pengawasan digital. Turkle mengungkap kesepian yang tersembunyi di balik keterhubungan. Paus Fransiskus memanggil kita agar menjadikan media sosial ruang persaudaraan.
Semua agama besar pun sepakat: martabat manusia harus dijaga.
Pertanyaannya kini: apakah kita akan terus menjadikan luka orang lain sebagai hiburan, atau kita memilih menjadikan media sosial sebagai ruang kasih, empati, dan solidaritas?
Pilihan ada di tangan kita. Dan pilihan itu akan menentukan apakah kita membangun peradaban digital yang manusiawi, atau sekadar melanjutkan sirkus “aib untuk like”. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.