Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pahlawan Nasional

Presiden ke-2 RI Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Begini tanggapan Keluarga Cendana dan PDIP

Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Editor: Glendi Manengal
Tangkapan Layat YouTube Tribunnews Video Arsip Nasional RI
PAHLAWAN NASIONAL - Foto saat pidato pengunduran diri Presien Republik Indonesia ke-2 HM Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta. Kini Presiden ke-2 RI Soeharto resmi mendapat gelar Pahlawan Nasional. 

Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke Pulau Buru.

Kedua adalah dugaan kebijakan penembakan misterius sepanjang 1981-1985 sebagai bentuk ‘hukuman mati’ tanpa melewati proses pengadilan. Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung.

Ketiga, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru. 

Akibat dari kebijakan ini, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan buntut Peristiwa Tanjung Priok 1984.

Pelanggaran HAM berat Soeharto lainnya berdasarkan catatan Kontras adalah Kebijakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem dengan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987. 

Akibat kejadian ini, 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.

Kemudian pelanggaran HAM dalam pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) dan DOM Papua (1963-2003) yang mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa.

Sejumlah insiden pada DOM Papua seperti Teminabun 1966-1967, peristiwa Kebar 1965, hingga Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 di mana terjadi pembantaian di 17 desa. Dua kebijakan DOM Soeharto menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Kontras pun turut mencatat kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang merupakan serangan oleh pasukan pemerintah Indonesia pada kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta. Dalam Peristiwa 27 Juli, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. 

Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan yang diduga berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati itu menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.

Tiga kasus pelanggaran HAM Soeharto berdasarkan laporan Kontras adalah Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998 yang melibatkan Tim Mawar, Peristiwa Trisakti 1998 yang menyebakan 4 mahasiswa tewas tertembak peluru aparat keamanan, dan kerusuhan 13–15 Mei 1998 yang merupakan rangkaian dari kekerasan dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.

Dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu. Kejadian ini menjadi tonggak sejarah lahirnya reformasi dan jatuhnya kepemimpinan Soeharto.

Dengan berbagai rentetan kasus pelanggaran HAM itu, Andreas menilai Soeharto tidak sepatutnya mendapat gelar kehormatan Pahlawan Nasional.

“Ini baru sedikit laporan dari Kontras. Kita belum berbicara soal kasus-kasus hukum lainnya, termasuk mengguritanya praktik KKN di era Orde Baru,” ucap Andreas.

“Belum lagi kita bicara soal rezim diktator yang menumpas kebebasan berekspresi dan menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami penderitaan panjang,” sambungnya.

Andreas mengatakan, ia mendukung penghargaan bagi siapa pun yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. 

“Tapi penghormatan harus memperkuat keutuhan sejarah, bukan memunculkan luka lama,” tegas Andreas.

Lebih lanjut, Andreas mengatakan bahwa penghargaan tersebut seharusnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang nilai-nilai perjuangan yang relevan bagi masa depan Indonesia. 

“Pahlawan nasional bukan hanya soal masa perjuangan kemerdekaan, tapi juga simbol moral bangsa,” katanya.

“Lantas apakah Soeharto merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap tantangan-tantangan tersebut, atau justru sebaliknya?” pungkas Andreas.

Artikel telah tayang di Kompas/Tribunnews

-

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Baca berita lainnya di: Google News

WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini

Sumber: Kompas.com
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved