Pahlawan Nasional
Presiden ke-2 RI Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Begini tanggapan Keluarga Cendana dan PDIP
Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Ringkasan Berita:
- Presiden ke-2 RI Soeharto mendapat gelar Pahlawan Nasional diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada Senin 10 November 2025
- Keluarga Cendana tanggapi soal gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
- PDIP Kritik pemerintah terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional ke Soeharto
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto sempat menjadi sorotan.
Ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan pemberian gelar Pahlawan terhadap Soeharto.
Lantas bagaimana tanggapan dari keluarga cendana setelah kini Soeharto resmi mendapat gelar Pahlawan Nasional
Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Gelar tersebut diterima langsung oleh putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, ditemani dengan saudarnya, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto.
Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 dan diberikan dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2025.
Soeharto menerima gelar sebagai pahlawan nasional di bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik.
Namun, keputusan pemerintah tersebut memicu pro dan kontra di dalam masyarakat, karena praktik otoritarianisme, pelanggaran HAM, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada era Soeharto.
Tanggapan Keluarga Cendana
Tutut Soeharto menilai, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi.
“Masyarakat Indonesia kan macam-macam ya, ada yang pro, ada yang kontra, itu wajar-wajar saja,” kata Tutut, dikutip dari tayangan Kompas TV, Senin (10/11/2025).
“Yang penting kita melihat apa yang dilakukan oleh bapak saya dari sejak muda sampai beliau wafat. Itu semua kan untuk masyarakat Indonesia,” lanjut dia.
Tutut menegaskan, pihak keluarga tidak menyimpan rasa kecewa terhadap pihak yang menolak keputusan pemerintah.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto dan masyarakat yang mendukung keputusan tersebut.
“Kami berterima kasih kepada Bapak Presiden, masyarakat Indonesia, dan semua pihak yang telah mendukung. Untuk yang kontra, kami keluarga tidak merasa dendam atau kecewa,” ujarnya.
Menurutnya, keputusan Presiden Prabowo juga didasari oleh usulan rakyat, di samping mempertimbangkan jasa-jasa Soeharto.
Pihak keluarga juga mengaku tidak keberatan pemberian Pahlawan Nasional kepada Soeharto itu baru dilakukan saat ini.
“Karena dulu belum banyak dikumpulkan, yang untuk supaya terpilih, belum terkumpul,” jelas dia.
“Jasa paling besar yang perlu diingat masyarakat, yang bisa melihat kan masyarakat sendiri ya, dan juga presiden, seperti yang tadi sudah disampaikan oleh adik saya,” kata dia.
10 penerima gelar Pahlawan Nasional terbaru
Selain Soeharto, terdapat sembilan tokoh lain yang juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Mereka berasal dari berbagai bidang, mulai dari perjuangan bersenjata, hukum, pendidikan, hingga kemanusiaan.
Berikut daftar penerima gelar tahun 2025 antara lain:
· K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam.
· Marsinah – Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan.
· Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja – Bidang Hukum dan Politik.
· Hajjah Rahmah El Yunusiyyah – Bidang Perjuangan Pendidikan Islam.
· Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo – Bidang Perjuangan Bersenjata.
· Sultan Muhammad Salahuddin – Bidang Pendidikan dan Diplomasi.
· Syaikhona Muhammad Kholil – Bidang Perjuangan Pendidikan Islam.
· Tuan Rondahaim Saragih – Bidang Perjuangan Bersenjata.
· Zainal Abidin Syah – Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi.
Sebagai bentuk penghormatan, ahli waris penerima gelar berhak atas tunjangan tahunan sebesar Rp 50 juta dari pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2018.
Selain itu, mereka juga memperoleh jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan dan hak pemakaman di Taman Makam Pahlawan (TMP).
Pemerintah juga dapat melakukan pemugaran makam pahlawan yang berada di luar TMP sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya.
PDIP Kritik Pemerintah Setelah Beri Gelar Pahlawan Nasional ke Presiden ke-2 RI Soeharto
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira, mengkritik pemerintah, yang menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto.
Andreas pun menyinggung soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa Soeharto, era Orde Baru.
Andreas menegaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh-tokoh bangsa merupakan bagian penting dari upaya menjaga kesinambungan sejarah dan membangun kebanggaan nasional.
“Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut figur publik dengan catatan sejarah pelanggaran HAM seperti Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara demi menjaga harkat dan martabat pendidikan kebangsaan,” kata Andreas, kepada wartawan, Senin (10/11/2025).
Lantas, Andreas menyinggung tentang banyaknya tudingan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto, baik sebelum dan selama ia menjabat sebagai Presiden puluhan tahun lamanya.
“Pahlawan Nasional bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi cermin nilai dan arah moral bangsa. Karena itu, setiap keputusan negara dalam memberikan penghargaan ini harus mempertimbangkan semangat persatuan, rekonsiliasi, dan pembelajaran bagi generasi muda,” ujarnya.
“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam, yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) selama ia memimpin negeri ini,” imbuh Legislator dari Dapil NTT I itu.
Andreas menyinggung sejumlah kasus pelanggaran HAM yang ditudingkan kepada Soeharto.
Hal ini berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang juga menyebut setelah Orde Baru berakhir pada 1998, tuntutan untuk mengungkap dugaan terjadinya pelanggaran berat HAM masa lalu banyak bermunculan.
Ia menyebut, setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto saat berkuasa menurut catatan Kontras.
Pertama tindakan kejahatan kemanusiaan di Pulau Buru pada 1965-1966 saat Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtib.
Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke Pulau Buru.
Kedua adalah dugaan kebijakan penembakan misterius sepanjang 1981-1985 sebagai bentuk ‘hukuman mati’ tanpa melewati proses pengadilan. Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung.
Ketiga, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru.
Akibat dari kebijakan ini, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan buntut Peristiwa Tanjung Priok 1984.
Pelanggaran HAM berat Soeharto lainnya berdasarkan catatan Kontras adalah Kebijakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem dengan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987.
Akibat kejadian ini, 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
Kemudian pelanggaran HAM dalam pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) dan DOM Papua (1963-2003) yang mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa.
Sejumlah insiden pada DOM Papua seperti Teminabun 1966-1967, peristiwa Kebar 1965, hingga Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 di mana terjadi pembantaian di 17 desa. Dua kebijakan DOM Soeharto menyebabkan banyak korban berjatuhan.
Kontras pun turut mencatat kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang merupakan serangan oleh pasukan pemerintah Indonesia pada kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta. Dalam Peristiwa 27 Juli, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru.
Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan yang diduga berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati itu menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.
Tiga kasus pelanggaran HAM Soeharto berdasarkan laporan Kontras adalah Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998 yang melibatkan Tim Mawar, Peristiwa Trisakti 1998 yang menyebakan 4 mahasiswa tewas tertembak peluru aparat keamanan, dan kerusuhan 13–15 Mei 1998 yang merupakan rangkaian dari kekerasan dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.
Dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu. Kejadian ini menjadi tonggak sejarah lahirnya reformasi dan jatuhnya kepemimpinan Soeharto.
Dengan berbagai rentetan kasus pelanggaran HAM itu, Andreas menilai Soeharto tidak sepatutnya mendapat gelar kehormatan Pahlawan Nasional.
“Ini baru sedikit laporan dari Kontras. Kita belum berbicara soal kasus-kasus hukum lainnya, termasuk mengguritanya praktik KKN di era Orde Baru,” ucap Andreas.
“Belum lagi kita bicara soal rezim diktator yang menumpas kebebasan berekspresi dan menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami penderitaan panjang,” sambungnya.
Andreas mengatakan, ia mendukung penghargaan bagi siapa pun yang telah berjasa bagi bangsa dan negara.
“Tapi penghormatan harus memperkuat keutuhan sejarah, bukan memunculkan luka lama,” tegas Andreas.
Lebih lanjut, Andreas mengatakan bahwa penghargaan tersebut seharusnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang nilai-nilai perjuangan yang relevan bagi masa depan Indonesia.
“Pahlawan nasional bukan hanya soal masa perjuangan kemerdekaan, tapi juga simbol moral bangsa,” katanya.
“Lantas apakah Soeharto merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap tantangan-tantangan tersebut, atau justru sebaliknya?” pungkas Andreas.
Artikel telah tayang di Kompas/Tribunnews
-
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini
Pahlawan Nasional
Gelar Pahlawan Nasional
Prabowo Subianto
Soeharto
Presiden ke-2 RI
Keluarga Cendana
PDIP
| Daftar 10 Artis Indonesia Keturunan Pahlawan Nasional, Ada Penyanyi Senior |
|
|---|
| Deretan Hak Istimewa bagi Penerima Gelar Pahlawan Nasional, Keluarga atau Ahli Warisnya |
|
|---|
| Masih Ingat Gus Dur? Dulu Diberhentikan MPR Sebagai Presiden RI, Kini Jadi Pahlawan Nasional |
|
|---|
| Daftar 10 Nama Pahlawan Nasional yang Baru, Ada Dua Presiden Indonesia |
|
|---|
| Pahlawan Nasional Indonesia Keturunan Tionghoa-Manado Ini Dijuluki Hantu Selat Malaka oleh Belanda |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/UNDUR-DIRI-Pidato-pengunduran-diri-Presien-Republik-Indonesia-ke-2-HM-Soehartolo0909.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.