Opini
Menakar SDGs Level Lokal: Antara Komitmen Global dan Birokrasi Lokal di Minahasa Tenggara
Namun, yang kerap luput dari sorotan adalah bagaimana cita-cita global ini diterjemahkan dalam praktik oleh pemerintah daerah di pelosok tanah air.
Penulis: Nielton Durado | Editor: Isvara Savitri
Tidak ada kejelasan tentang bagaimana target-target SDGs diterjemahkan ke dalam indikator kinerja perangkat daerah, atau bagaimana progresnya dimonitor dan dievaluasi secara berkala.
Berbagai studi menunjukkan bahwa justru pemerintah daerah memegang peran paling krusial dalam menerjemahkan SDGs ke dalam tindakan nyata.
Ansell et al. (2022) dalam kajiannya menekankan bahwa motivasi lokal —baik karena kebutuhan pragmatis, dorongan reputasi, maupun kekuatan jejaring— merupakan penggerak utama yang menentukan efektivitas pelaksanaan SDGs.
Dengan kata lain, ketika birokrasi lokal tidak sekadar mengikuti perintah tetapi secara aktif membentuk strategi pembangunan yang relevan dan partisipatif, maka peluang keberhasilan SDGs justru membesar.
Selaras dengan itu, Bilsky et al. (2021) menggarisbawahi pentingnya reformasi struktur pemerintahan multilevel yang berpijak dari bawah ke atas (bottom-up), bukan sebaliknya.
Mereka mengusulkan agar pemerintah daerah tidak hanya menjadi pelaksana teknis, melainkan sebagai aktor strategis yang membangun kolaborasi lintas pemangku kepentingan: dari komunitas desa, lembaga pendidikan, hingga sektor swasta lokal.
Konteks ini sangat relevan bagi Minahasa Tenggara yang memerlukan integrasi lebih erat antar-OPD dan antar-level pemerintahan agar arah pembangunan tidak saling tumpang tindih.
Sementara itu, Agrawal et al. (2022) mengajukan satu hal mendasar: bahwa transformasi menuju keberlanjutan tidak dapat dicapai dengan pendekatan reaktif atau administratif semata.
Yang dibutuhkan adalah tata kelola keberlanjutan (governance for sustainability) yang mampu menyerap aspirasi masyarakat, bersifat adaptif terhadap tantangan lokal, dan mengutamakan transparansi serta evaluasi berkelanjutan.
Prinsip ini bisa menjadi pondasi baru bagi Minahasa Tenggara, yang selama ini cenderung berfokus pada capaian-capaian administratif, alih-alih hasil substantif.
Baca juga: Chord Lagu Bujang Kerita Sapu - Daniela Sengalang - Kunci Gitar Em
Baca juga: Sosok Paramitha Widya Kusuma, Bupati yang Siap Biayai Hidup Adnan Bocah Nekat Temui Dedi Mulyadi
Dengan memasukkan refleksi dari literatur-literatur di atas, arah koreksi pembangunan di Minahasa Tenggara menjadi lebih jelas: membangun kapasitas birokrasi yang mampu menerjemahkan SDGs ke dalam indikator dan program lokal yang kontekstual, memperkuat koordinasi lintas level, serta membuka ruang deliberasi publik yang lebih luas untuk memastikan bahwa pembangunan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
Pada akhirnya, Minahasa Tenggara memerlukan pendekatan baru: transisi dari logika pembangunan administratif menuju pendekatan yang partisipatif, berbasis bukti, dan berkelanjutan.
Pemerintah daerah perlu menyusun indikator turunan SDGs yang spesifik lokal dan menempatkannya sebagai dasar dalam perumusan anggaran dan evaluasi kinerja.
Selain itu, kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil dan perguruan tinggi penting untuk memperkuat kapabilitas teknis dan akuntabilitas publik.
Jika tidak ada koreksi arah, maka SDGs di Minahasa Tenggara ataupun daerah-daerah lainnya dengan corak kasus yang sama akan tetap menjadi jargon elite, jauh dari realita warga desa yang hidup tanpa sanitasi layak, pendidikan berkualitas, dan pendapatan yang memadai.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.