Opini
Anomali Pencalonan Pilkada 2024
Parpol peserta pemilu dan parpol yang memiliki kursi DPRD minimal 20 persen atau 25 persen suara hasil pemilu yang bisa mengusung calon.
Proses pemilihan tidak bersifat partisipatif anggota atau bottom up tapi dikendalikan dari aktor pusat. Kelembagaan parpol akhirnya jadi rapuh. Wajar jika terdapat parpol disfungsi atau impoten berkaitan dengan kaderisasi dan penyiapan calon-calon pemimpin di area internal.
Kedua, Membuka pendaftaran bagi eksternal parpol diduga bermotif finansial. Sejumlah elite parpol mendapatkan kekuasaan tertinggi di parpol diduga melalui proses yang tidak wajar. Ada semacam upeti setoran agar mendapatkan surat keputasan sebagai pimpinan parpol.
Bagi kalangan eksternal yang akan mendaftar sepertinya mustahil jika tidak melewati "zona gelap" yakni mahar. Sehingga mahar calon itu bisa menutupi upeti yang digunakan membeli surat keputusan sebagai pimpinan parpol.
Hal yang dikhawatirkan jangan sampai ada parpol yang melakukan semacam proses tender atau lelang terbuka. Siapa yang bersedia membayar paling mahal, maka akan diusung sebagai calon kepala daerah di parpol itu.
Sehingga wajar jika kelak kepala daerah yang terpilih melalui proses tender atau mahar selalu berupaya agar uang mahar itu harus kembali ketika berkuasa. Kualitas proyek fisik yang buruk, perijinan lingkungan diobral.
Markup atau manipulasi harga-harga barang rentan terjadi karena modus ini. Jika proses ini benar-benar akan terjadi, lantas apa yang bisa dipertanggungajawabkan parpol dalam proses pilkada ini.
Tentu perlu apresiasi bagi parpol-parpol yang selama cenderung masih memiliki rasa malu jika calon yang diusung tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin daerah yang berakhlak dan berjiwa kepemimpinan yang mapan. (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.