Catatan Wartawan
Kisah Pelarian 51 Afganistan di Manado Sulawesi Utara Bermodal Sendok
Seorang karateka dapat menggunakan semua badannya untuk membunuh, begitu pun jurnalis ; dapat menggunakan semua pengalamannya, termasuk bersantai.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Hari Minggu setelah Lebaran 2023, saya ke bioskop. Hanya untuk santai.
Bukan untuk mencari berita. Meski dua hal itu tak terpisahkan. Seorang Jurnalis dapat bertamasya sambil liputan.
Atau sebaliknya. Liputan sambil tamasya.
Seorang karateka dapat menggunakan semua badannya untuk membunuh, begitu pun jurnalis ; dapat menggunakan semua pengalamannya, termasuk bersantai, sebagai bahan berita.
Jagad cinema Indonesia lagi dikuasai film horor sebangsa Sewu Dino.
Mujur tak semua film yang diputar horor.
Ada satu yang bergenre perang dan kemanusiaan, film kesukaanku.
Guy Ritchie, The Covenant. Kisahnya tentang seorang tentara Amerika yang diselamatkan seorang penerjemah di Afganistan.
Pasca bebas, si tentara tak bisa hidup tenang. Ia terbayang terus penyelamatnya si orang Afganistan yang jadi buronan Taliban.
Nekad, seorang diri ia kembali ke Afganistan, jadi Rambo penyelamat sang penerjemah. Ini film yang lumayan seru. Cukup menghibur.
Si penerjemah dalam film beruntung. Di dunia nyata, banyak penerjemah yang dibantai Taliban usai Amerika minggat dari negara itu. Jumlahnya mencapai 300 orang.
Duduk sendirian di bangku bioskop sambil makan Pop Corn, pikiran saya melayang ke peristiwa di Manado 2012 silam.
Kala itu, sebanyak 51 warga Afganistan berhasil melarikan diri dari Rudenim Manado.
Jangan bayangkan ada aksi tembak tembakkan, apalagi perebutan rutan.
Mereka lari hanya berbekal sendok. Ya sendok. Tanah mereka gali dengan sendok.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.