Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Sambung Pikir Polemik Gelar Adat Tona'as Wangko, Nilai Leluhur Minahasa

Ungkapan Tonaas Wangko Umbanua ternyata berasal usul kisah tentang penyerahan wilayah provinsi kerajaan kepada sang tokoh utama, yakni Kaisar Liu Bei.

Tribunmanado.co.id/Dok. Pemprov Sulawesi Utara
Penganugerahaan Tonaas Wangko Um Banua kepada sejumlah tokoh asal Sulut atau berkarya di Sulut. 

Bahkan kalaupun ada sejumlah keterpatahan (istilah Michell Foucault) di mana ada distorsi dan delesi fakta sejarah, ada kebengkokan dan kekaburan bahkan kehilangan, namun bahasa itu relatif bertahan dan terus diwariskan; walaupun mengalami pelbagai pengaruh dari pelbagai anasir-anasir luar dan dinamika internal sendiri, bahasa tetap bisa ditelusuri. Dalam pengertian ini, benar juga dikatakan bahwa bahasa Minahasa adalah bukti arkeologi tentang asal usul leluhur Minahasa yang tak terbantahkan juga.

Ketika ilmu sejarah itu sendiri mungkin terkooptasi dengan segala lapisan kuasa dan kepentingan yang sifatnya generalisasi, distortif bahkan deletif, maka temuan Boseke ini dalam hal bahasa jelas bisa membantu para ahli sejarah dalam bidang apa saja. Pendekatan bahasa sungguh mesti diperhitungkan untuk studi sejarah yang benar dan komprehensif. Bahkan seorang pakar filolog Jawa kuno dan pelbagai bahasa dunia, Dr KRT Manu J Widyaseputra menambahkan bahwa lebih yakin dengan studi bahasa untuk mengungkap sebuah realitas sebenarnya daripada tulisan sejarah apalagi dari para penguasa dan para ahli barat yang penuh dengan teori konspirasi dan pembandingan yang tak seimbang. (Webinar Leluhur Minahasa Penguasa Dinasti Han dalam channel Youtube Ngobrol Santai Indonesia, NSI)

Refleksi lebih lanjut terkait ungkapan gelar adat Tonaas Wangko yang secara formal diberikan oleh sebuah Majelis Kebudayaan yang dikepalai oleh Bupati Minahasa (sebelum pemekaran).

Masih menurut tesis Boseke, selain monosilabel, bahasa Minahasa itu hanya satu dan bersifat klasik atau lebih tepatnya etis (Benni E Matindas, dalam bedah buku di Kalbis Institute, 2018). Tesis ini sangat membantu dan menguatkan kita untuk memahami gelar adat dan semua aktivitas budaya Minahasa itu sendiri. Pasalnya, yang terdalam dari semua gelar dan pertunjukan budaya Minahasa adalah nilai-nilai luhur itu sendiri yang terkandung dan menghidupi pola pikir-rasa-tindak tou Minahasa itu.

Secara etimologis, pemberian gelar dan jabatan adat Tonaas Wangko jelas memang diberikan kepada seorang pemimpin dengan kualifikasi tertentu, yang dianggap lebih unggul dan layak daripada pemimpin yang lain.

Jadi, mesti dicari jawaban dan penjelasan tentang apa syarat dan kriteria serta indikator seorang itu layak diberi gelar atau jabatan Tonaas Wangko.

Pertanyaan berikut siapa yang punya legitimasi memberi penghargaan dan jabatan tersebut? Sudah jelas dari konteks sejarahnya adalah seorang pemimpin atau pejabat yang berwenang dan diakui masyarakat, misalnya pejabat tinggi wilayah (atau dewan pejabat). Dan dalam mengambil keputusan, pejabat itu mendengarkan pertimbangan dari para penasihat yang kapabel, bisa dari lingkaran pejabat pemerintah, para cendekiawan, para tokoh agama dan masyarakat, dst.

Mungkin perlu dipahami juga bahwa dalam perkembangannya di Minahasa, seorang pemimpin atau yang terkemuka (Tona'as) itu berada dalam kesadaran akan sesama kolegial pemimpin lainnya, dan secara secara mendasar dia terlahir dan menjadi utuh sebagai pemimpin di dalam dan melalui kelompok masyarakatnya sendiri (Matuari). Penjelasan tentang dinamika keunggulan individual dan persaudaraan komunal (Lihat Paul Richard Renwarin, Matuari wo Tona'as, Leiden, 1995) ini sangat menarik untuk memahami interaksi individu dan sosial masyarakat Minahasa yang dinamis dan harmonis, supaya dengan tepat dan bijak bisa menemukan strategi dan jalan tapak menuju transformasi kemajuan masyarakat Minahasa di manapun berada dan berkarya, dengan patokan nilai-nilai leluhur, yang terus digali dan dikembangkan, yang sesungguhnya atas cara dan bentuk lain menjadi idealitas dan praksis kelompok masyarakat di pelbagai belahan bumi lainnya.

Apakah kebetulan belaka atau spekulasi kosong bahwa nyanyian pujian kepada leluhur yang paling dimuliakan di Minahasa sudah dibunyikan pertama kali oleh Tonaas Walian Karema (Tou Na Sse Hua Li An Kai Ren Mu)?

Namun menarik pernyataan dari etnomusikolog, Perry Rumengan, yang merujuk pada teori metafisika kuantum bahwa apa yang terjadi sekarang adalah rentetan gema dari bunyi yang pernah dilepaskan dan bergetar di alam semesta di masa silam.

Dalam upacara-upacara ritual seperti masih dikenal dalam istilah-istilah di Minahasa (dari akar Han): Rao Ge Shu An (Ragesan) Shu Ma Le Sung (Semalesung) Ma Ou Ru Ai (Mahorai), dan Sao Chang Nian Ni (Zazanian ni) sang Ibu Kairen, kepala istana yang mengatur upacara-upacara Han (Tonaas Walian Karema) itu menyanyikan berulang-ulang pada setiap acara dengan maksud melestarikan nilai-nilai pusaka yang menjadi legacy sang kaisar sebagai Amang Kasuruan (A Mang Kai Shu Ru An: Orang jujur dan tulus masuk dengan damai mengamankan dan mendirikaan Dinasti Shu) serta para pahlawan pengikut mereka, yakni keluhuran Budaya Agung yang tak ternilai harganya dan tak dapat ditukar dengan jabatan dan tahkta kekaisaran raya sekalipun, universal dan eternal.

I Yayat U Santi (Han: Yi Ya Ya Te Wu Shang Ti, angkatlah nyanyian pujian pada Raja/Tuhan).

Tantu teintu (Han: Duan Tui Tien Tui, sungguh benar kebenaran Langit).

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved