Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Sambung Pikir Polemik Gelar Adat Tona'as Wangko, Nilai Leluhur Minahasa

Ungkapan Tonaas Wangko Umbanua ternyata berasal usul kisah tentang penyerahan wilayah provinsi kerajaan kepada sang tokoh utama, yakni Kaisar Liu Bei.

Tribunmanado.co.id/Dok. Pemprov Sulawesi Utara
Penganugerahaan Tonaas Wangko Um Banua kepada sejumlah tokoh asal Sulut atau berkarya di Sulut. 

Oleh:
Stefi Rengkuan
Anggota Dewan Pembina KKK
Anggota Dewan Pengawas YPKM
Admin Kawanua Informal Meeting

SEJAK terbit buku karya Weliam H Boseke tentang asal usul leluhur Minahasa pada 2018 lalu, sudah banyak kajian dan seminar yang dibuat di pelbagai tempat. Tapi temuan besar ini memang tak cukup hanya diseminarkan dalam hitungan jam saja, karena ada banyak lapisan yang mesti dipahami pembaca guna mendapatkan logika dan isi temuan itu sendiri. Namun demikian, sesungguhnya orang yang kritis terhadap suatu gejala dan fakta Minahasa akan dengan terbuka untuk menelisik lebih jauh temuan Boseke ini.

Jika benar teori Boseke yang menegaskan bahwa bahasa Minahasa itu adalah bahasa Han yang berformat monosilabel, maka setiap kata ungkapan Minahasa mesti ditulis dengan cara pinyin (Latinisasi Han). Cara pinyin adalah ciptaan pemerintah China sendiri baru pada pertengahan abad lalu. Cara sebelumnya justru diciptakan oleh Wade dan Giles, dua peneliti bahasa dari Eropa, masih di zaman dinasti. Dengan cara latinisasi ini para pemakai bahasa berlatar aksara Latin bisa terbantu mempelajari bahasa Mandarin (berakar Han).

Dengan kemampuan berbahasa Mandarin inilah Boseke menemukan sejumlah bunyi yang sama dengan bahasa Minahasa sekitar tahun1980-an. Dan dengan bantuan metode pinyin ini orang yang belajar bahasa Mandarin dan Minahasa mungkin dan bisa seperti Boseke membuat pembandingan yang akan menghasilkan sejumlah persamaan dua bahasa (asli) tersebut.

Boseke sedang memberi kepada kita banyak contoh analisis bandingan linguistik ini. Makin lama makin banyak. Sampai awal 2023 ini sudah 3.000 kata ungkapan yang ditemukannya. Sebagian sudah ada dalam buku terbitan pertama berjudul Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa, Waraney (Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018).

Salah satunya yang lagi ramai didiskusikan kembali, yakni gelar kehormatan adat: Tona'as Wangko. Diskusi ini menjadi ramai karena dikaitkan dengan peristiwa pengukuhan adat bagi para pengurus organisasi Kerukunan Keluarga Kawanua (pascapersatuan) di Taman Mini Indonesia Indah pada 11 Maret 2023. Pada saat pengukuhan secara adat itu, 3 Tonaas Wangko Umbanua (EE Mangindaan, Theo Sambuaga, Ronnie Sompie) menyematkan pakaian dan topi adat kepada Ketua Umum KKK yang dijabat oleh Angelica Tengker untuk periode konsolidasi organisasi terbesar Minahasa di perantauan ini.

Pelbagai wacana dimunculkan, termasuk terkait dengan asal usul pemberian gelar dan jabatan adat ini, sejak kapan oleh siapa, dst., dan tentu saja diangkat kembali apa nilai-nilai leluhur itu, apa syarat tokoh yang layak menyandangnya. Bahkan ternyata ada terminologi yang berusaha merekam fenomena perbedaan pendapat terkait gelar atau jabatan adat ini, misalnya kelompok Minahasa vs kelompok Kawanua (Denni Pinontoan) yang bagi saya pribadi ini bisa saja dimaklumi sebagai sebuah cara pikir kategoris tapi janganlah menjadi sebuah istilah yang kontra produktif bagi ke-Minahasa-an dan pe-Minahasa-an yang pada hakikatnya mesti tetap satu dan sama di manapun dan kapanpun.

Nah, tulisan singkat ini hendak menambah wacana dari sisi bahasa berdasarkan temuan terbaru yang telah menjadi viral di banyak kalangan Minahasa maupun Indonesia bahkan luar negeri sendiri. Tiada maksud lain, selain memberi wacana alternatif di tengah narasi lama yang tak pernah diketahui lagi atau makin kabur dan gelap arti dan konteksnya di kalangan masyarakat Minahasa sendiri bahkan termasuk oleh mereka yang didaulat atau mendaulat diri tokoh bahasa dan budaya Minahasa sendiri. Lagipula dari sisi bahasa, sampai saat ini belum ada tesis kontra yang bisa membantah tesis Boseke ini secara lebih meyakinkan (Max F Wilar). Maka uraian berikut ini kiranya bisa membuka mata kritis kita tentang apa yang sudah dan sedang akan terjadi dengan Minahasa itu sendiri, terlebih hal identitas terkait nilai-nilai yang hakiki, universal dan eternal.

Dengan pendekatan monosilabel melalui metode pinyin, didapatlah asal usul kata Tonaas Wangko itu, yakni berasal dari frase lengkap Tou Na Shu Wang Guo U Han Hua, dalam bahasa Minahasa kontemporer menjadi Tonaas Wangko Umbanua. Perhatikan bunyi dan teks piyinnya masih mirip sama, bukan? Dan dalam bahasa Han berarti 'pemimpin penguasa negara kekaisaran Shu sebagai rumah tempat kembali di Tiongkok'.

Nah lho kok begitu artinya, asing dan seperti dari dunia alien? Karena itu hanya memberikan pengertian ini saja tidak sulit dibantah sebagai sebuah upaya cocokologi belaka bahkan oleh mereka yang paham tentang bahasa format monosilabel ini. Karena lapisan bahasa adalah satu hal yang perlu dipahami untuk menemukan kebenaran dari tesis Boseke ini, dan masih perlu paham pelbagai lapisan lainnya, seperti sejarah (misalnya kerajaan di Tiongkok terkait tokoh, peran, alur dan konteks kesekitaran; dan tentu saja tentang Minahasa itu sendiri), budaya, arkeologi, ilmu bumi, dst. (Yudo Setiadji Ratulangi dalam Seminar di Hotel Oval Surabaya).

Setelah paham hal lapisan-lapisan itu, kita lanjut menilai klaim pengertian dalam bahasa Han kuno itu. Dan ternyata mempunyai makna dan konteksnya dalam sejarah perang terbesar di Tiongkok pada abad ke-3 Masehi, yang dikenal sebagai 'perang tiga negara' atau San Guo atau Sam Kok.

Nah, ungkapan Tonaas Wangko Umbanua di Minahasa itu ternyata berasal usul kisah tentang penyerahan wilayah provinsi kerajaan kepada sang tokoh utama, yakni Kaisar Liu Bei. Sejak menjadi penguasa di Shi Chuan secara damai, Liu Bei disebut Tou Na Shu Wang Guo U Han Hua itu. Kisah di balik itu adalah ketika Zhang Lu dari Han Zhong hendak merampas Shi Chuan, raja bangsawan Liu Zhang sependapat dengan penasihatnya untuk menyerahkan wilayahnya diserahkan kepada Liu Bei yang dianggap lebih berkarakter bijaksana dan mulia sebagai pemimpin daripada kepada Chao Chao yang tamak dan tidak jujur.

Arti kata ungkapan Tonaas Wangko itu beserta makna dan konteks inilah yang sulit dibantah sebagai cocokologi yang naif dan tak berdasar apapun. Misalnya tentang Liu Bei yang berjulukan Jiu Gui ru er, seolah-olah sembilan lutut, atau Shou Gui ru er yang berarti memiliki lengan melampaui lutut (Minahasa: Siow Kurur) adalah ayah dari Liu Shan (A Dao), ayah Tou erl yang tak lain adalah Toar sendiri dalam mitologi manusia pertama Minahasa.

Temuan Boseke menjelaskan bahwa Toar, Lumimuut, dan Karema itu ternyata makhluk historis, bukan dongeng belaka. Mengherankan juga bahwa nama-nama fam atau marga di Minahasa itu tidak bersifat genetik (diwariskan), dan tak lain adalah berkisah tentang siapakah Kaisar Liu Bei, kakek dari Toar itu sendiri. Nama marga ini baru kemudian diwariskan sejak pemerintahan administrasi pada zaman kolonial. Sudah ada 700 nama fam Minahasa yang arti dan konteksnya bagaikan rangkaian pujian kepada sang Kaisar yang sangat dihormati itu, khususnya oleh para keluarga dan pengikutnya tentunya, yang kapal-kapal mereka terdampar oleh angin muson barat di 'wilayah tempat tiba tak sengaja' (tu uxin dao na = tu'ur in tana).

Jadi sangat jelas dan terang bahwa Weliam Boseke tidak sekedar mencari-cari persamaan bunyi dan teks serta arti kata ungkapannya, namun dia justru bisa membuat perbandingan dalam konteks sejarah yang riil, yang bisa diverifikasi sendiri oleh mereka yang terbuka mau menelusuri dan mempelajarinya dalam kenyataan sejarah umum. Boseke tidak sedang membuat pembandingan dengan klaim sepihak saja, seperti naif dan konyol dituduhkan segelintir orang yang tak mau tahu lagi apa sebenarnya inti temuan Boseke ini.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved