Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Australia Keberatan Abu Bakar Ba'asyir Dibebaskan: Begini Tanggapan Pemerintah RI

Perdana Menteri Scott Morrison merespons rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
SYDNEY MORNING HERALD
Perdana Menteri Asutralia Scott Morrison. Pemerintah Australia mengeluarkan travel warning ke Indonesia untuk liburan Natal dan Tahun Baru. 

Selain itu, kata dia, pemberian amnesti untuk korban dikriminalisasi dan pertimbangan grasi terpidana mati kasus narkotika.

Baca: Abu Bakar Baasyir Bebas Tanpa Syarat, Berikut Pernyataannya

"Jika presiden menghormati nilai kemanusiaan ini, maka presiden harus mengubah pidana mati ke-51 orang tersebut menjadi pidana seumur hidup ataupun pidana maksimal 20 tahun penjara," kata Anggara.

Dia menegaskan, masukkan seseorang dalam daftar tunggu pidana mati terlalu lama dengan ketidakpastian merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara. 

Berdasarkan data yang diolah ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan sampai dengan Oktober 2018, terdapat 219 orang dalam daftar tunggu pidana mati, dengan hitungan masa tunggu sampai dengan 1 Desember 2018.

Baca: Pembebasan Abu Bakar Baasyir Dinilai Fadly Zon Untuk Dapatkan Simpati Umat Islam

Terdapat 51 orang dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan yang mempengaruhi kondisi psikologis. Bahkan 21 orang di antara telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun.

Selain itu, pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dan Meiliana, mereka yang dinilai mengalami kriminalisasi.

Baiq Nuril, korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE dan harus berada di bawah bayang-bayang pidana 6 bulan penjara.

Baca: Ustaz Abu Bakar Baasyir Dibebaskan dari Lapas Gunung Sindur, Yusril Sebut Jokowi Setuju

Sedangkan, kasus Meliana juga harus diperhatikan oleh presiden, lagi-lagi pasal tentang penodaan agama menyerang kelompok agama minoritas.

Hal ini terjadi karena praktik penegakkan hukum yang diskriminatif dalam Pasal 156a KUHP.

"Presiden dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya harus juga menginisiasi untuk dilakukan perubahan terhadap rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama," kata dia.

Baca: Terpidana Kasus Terorisme Abu Bakar Baasyir Bebas, Ini Alasan Presiden Menyetujuinya

Terakhir, presiden harus secara seksama mempertimbangkan grasi. Khusus untuk terpidana mati kasus narkotika, Presiden Joko Widodo telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan.

Berdasarkan catatan ICJR pada 2016 dan 2017, presiden menolak seluruh permohonan grasi untuk terpidana mati kasus narkotika, berdasarkan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015. Melalui putusan itu, dia menjelaskan, MK mengisyaratkan dalam hal mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai grasi, Presiden terikat pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Grasi.

Baca: SYOK! Jadi Napi Teroris, Komentar Abu Bakar Baasyir Soal Bom Surabaya Bikin Terkejut

Pasal ini telah jelas memerintahkan pertimbangan yang diberikan presiden adalah pertimbangan yang layak, dengan melakukan pemeriksaan secara mendalam, tidak secara buta menolak permohonan kasus tertent secara umum. 

"Secara filosofis, grasi memang lebih bersifat kemanusiaan karena merupakan bentuk belas kasih atau pengampunan yang diberikan kepala negara kepada seorang terpidana," kata dia.

Sehingga pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan presiden.

Baca: Abu Bakar Baasyir Mantan Pemimpin JAT Kecam Aksi Teror Bom di Surabaya, Ini Katanya!

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved