Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Mafia BBM, Wajah Sulawesi Utara Terganggu

Fenomena ini jelas bukan sekadar soal menunggu giliran mengisi bahan bakar. Ia sudah menjelma menjadi masalah serius.

Kolase/HO
OPINI - Tulisan opini : Mafia BBM, Wajah Sulut Terganggu. Oleh Baso Affandi (Warga Sulut).  

Oleh : 

Baso Affandi (Warga Manado, Sulut)

SEPERTI biasa, pagi antar anak ke sekolah, lalu mampir sejenak memancing moodbooster dengan segelas kopi tanpa gula.

Dalam perjalanan menyaksikan pemandangan antrian di SPBU dan kemacetan yang krodit mengalahkan kemacetan hari-hari sebelumnya. 

Waktu bergulir, hari demi hari, warga Sulawesi Utara terus disuguhi pemandangan yang kian membuat hati panas: antrean panjang kendaraan di SPBU. 

Bukan sekali dua kali, tapi sudah berulang kali, hingga menjadi “pemandangan rutin” yang sejatinya abnormal. 

Fenomena ini jelas bukan sekadar soal menunggu giliran mengisi bahan bakar. Ia sudah menjelma menjadi masalah serius yang menghambat denyut nadi kehidupan ekonomi masyarakat kita.

Yulius Selvanus Komaling sebagai Gubernur pun sudah angkat bicara. Beliau mengingatkan bahwa antrean panjang di SPBU berpotensi melumpuhkan aktivitas masyarakat Sulut

Peringatan ini bukan retorika kosong, sebab setiap hari kita bisa menyaksikan bagaimana kelangkaan solar merembet ke mana-mana.

Bayangkan, anak sekolah yang harus berangkat pagi-pagi terpaksa terlambat karena macet di sekitar SPBU. Karyawan dan pegawai terhambat untuk bekerja. 

Pedagang yang ingin mengantar barang dagangan ke pasar harus menunggu berjam-jam karena truk pengangkut tidak bisa jalan. 

Sopir angkutan barang dan penumpang kehilangan waktu produktif di jalan. 

Bahkan untuk sekadar urusan keluarga pun, masyarakat dibuat repot hanya karena masalah solar.

Lebih dari itu, antrean panjang ini menimbulkan efek domino: jalanan macet, polusi meningkat, dan gesekan antarwarga tak jarang muncul. 

Ada yang berebut giliran, ada yang saling tuding, dan ada pula yang marah-marah karena sudah menunggu seharian. 

Inilah wajah Sulut hari ini, terganggu, kusut, dan digerogoti oleh sebuah masalah yang sebenarnya bisa diatasi jika ditangani serius.

Sopir versus Tangan Gelap Mafia

Kondisi kian pelik ketika kita mendengar langsung keluhan para sopir truk. Mereka sudah muak. Hari ini, Senin 29 September 2025, ratusan sopir yang tergabung dalam Aliansi Dump Truck Sulut turun ke jalan. 

Dari Bitung, Minut, Tomohon, Tondano, hingga Manado, mereka menggelar aksi besar-besaran, menuntut keadilan atas dugaan praktik mafia solar.

Keluh kesah mereka menggambarkan betapa parah situasi ini. Ada yang harus antre satu hari penuh hanya untuk sekadar mengisi solar. “Kapan bisa kerja kalau waktu habis di antrean?” begitu jerit seorang sopir dengan nada putus asa.

Lebih memilukan lagi, ada sopir yang mengaku barcode resmi miliknya tiba-tiba diblokir. Alasannya, kuota sudah habis, padahal truknya berhari-hari tidak pernah mengisi BBM di SPBU. 

Dugaan kuat pun mencuat, ada “tangan-tangan gelap” yang bermain, bekerja sama dengan oknum SPBU, mengeruk keuntungan dari penderitaan rakyat kecil.

Apakah kita akan terus membiarkan mafia seperti ini merajalela? Jika iya, jangan kaget kalau kelak roda ekonomi kita benar-benar berhenti berputar.

Kuota, Distribusi, dan Mafia

Jika ditarik benang merah, ada tiga masalah besar yang membuat wajah Sulut terganggu:
Pertama, Kuota BBM terbatas. 

Kebutuhan solar di Sulut jauh lebih besar dibanding pasokan yang datang.  Kedua, distribusi yang tersendat. 

BBM sering terlambat tiba di SPBU atau datang tidak sesuai dengan kebutuhan.  Ketiga, Praktik mafia solar. Penimbunan, penyalahgunaan barcode, hingga permainan oknum di lapangan membuat distribusi subsidi menjadi kotor dan tidak tepat sasaran.

Tiga masalah ini ibarat simpul yang saling mengikat. Kuota terbatas membuka peluang permainan. Distribusi yang lemah memberi ruang bagi mafia. Dan mafia yang rakus memperparah semuanya.

Solusi Mendesak

Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa. Dibutuhkan langkah konkret, cepat, dan tegas, diantaranya adalah Pemerintah pusat menambah kuota BBM untuk Sulut. Pertamina dan Kementerian ESDM harus segera turun tangan. 

Jangan biarkan masalah ini dianggap lokal semata.  Lalu, Perbaikan distribusi. Sistem distribusi BBM harus transparan dan tepat waktu. 

Pengawasan digital perlu diperkuat agar tidak mudah dimainkan oleh oknum.  Selanjutnya dan yang paling penting adalah langkah kongkrit Pemberantasan mafia solar. 

Penegak hukum wajib menindak tegas, tanpa pandang bulu, siapa pun yang terlibat. Jangan hanya sopir kecil yang dijadikan kambing hitam, sementara pemain besar bebas berkeliaran.  

Dan dilakukan Optimalisasi SPBU. SPBU tidak boleh menjadi ladang basah bagi oknum. Harus ada pengawasan ketat dari pemerintah dan sanksi nyata untuk SPBU yang nakal.  

Tanpa mengabaikan Edukasi masyarakat. BBM bersubsidi harus tepat sasaran. Masyarakat perlu sadar bahwa subsidi adalah hak bersama, bukan untuk ditimbun atau disalahgunakan.

Ayo Semua Berperan

Tentu, masalah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kita sebagai warga Sulut juga punya peran. 

Pertama, dengan menjaga ketertiban saat mengantre, tidak melakukan kekerasan, dan tidak memperkeruh suasana. 

Kedua, berani melaporkan jika melihat penimbunan atau praktik curang. Mafia solar hanya bisa bertahan jika masyarakat diam.

Krisis Sebagai Momentum

Krisis solar ini memang menyakitkan. Tapi bisa juga menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola energi di Sulut. Jika dibiarkan, Sulut bisa lumpuh. 

Namun jika ditangani dengan cepat, transparan, dan melibatkan masyarakat, maka masalah ini bisa menjadi batu loncatan menuju sistem distribusi energi yang lebih bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.

Ingat, antrean di SPBU bukan sekadar antrean biasa. Itu adalah potret nyata denyut ekonomi rakyat, potret keadilan distribusi, dan potret harga diri daerah kita.

Mafia BBM boleh saja merasa kuat. Tapi kekuatan rakyat dan pemerintah yang bersatu jauh lebih besar. 

Mari kita kawal bersama, agar wajah Sulut yang hari ini terganggu bisa kembali cerah. Apakah kemudian masalah ini bisa berakhir setelah ratusan sopir Truk berani turun ke jalan? Wallahu alam bi sawab. (*) 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Polisi Sipil, Bukan Alat Kekuasaan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved