Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Menguatkan Daerah Reseptif dan Risiko: Kunci Eliminasi Malaria Sulut Menuju SDGs 2030

Di balik kemajuan pariwisata dan pembangunan Sulawesi Utara, malaria masih menjadi ancaman tersembunyi di beberapa wilayah.

|
Penulis: Nielton Durado | Editor: Rizali Posumah
Dokumentasi Joy Victor
DOSEN - Joy Victor Imanuel Sambuaga, SKM, M.Sc. Ia adalah dosen di Poltekes Kemenkes Manado. Saat ini tengah study S-3 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Hasanuddin Makassar. 

Untuk memperkuat daerah reseptif dan risiko, setidaknya ada tiga strategi utama:

1. Surveilans Dini dan Respons Cepat – Semua kasus malaria harus dilaporkan secepat mungkin.

Penguatan sistem surveilans digital di puskesmas dan rumah sakit sangat penting agar setiap kejadian dapat segera ditangani sebelum meluas.

2. Pemetaan Spasial Berbasis Risiko – Penggunaan data spasial dan pemetaan vektor dengan teknologi GIS dapat membantu mengidentifikasi wilayah rawan.

Perguruan tinggi dan lembaga riset di Sulawesi Utara perlu terus berperan aktif dalam menyusun malaria risk map yang mutakhir.

3. Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan SDGs – Pendekatan komunitas adalah jantung pengendalian malaria.

Melatih kader malaria desa, memperkuat peran keluarga, dan mendorong kemitraan antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta sejalan dengan Tujuan 17 SDGs: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

Eliminasi malaria sejatinya bukan hanya masalah kesehatan, tetapi bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Upaya ini beririsan langsung dengan: Tujuan 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), Tujuan 13 (Aksi Iklim), dan Tujuan 15 (Ekosistem Daratan).

Artinya, setiap proyek pembangunan di Sulawesi Utara—baik jalan, tambang, atau pariwisata—perlu memperhitungkan risiko malaria sebagai bagian dari analisis dampak kesehatan lingkungan.

Dunia akademik memiliki tanggung jawab besar. 

Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang terdapat pada Perguruan tinggi di Sulut harus terus melahirkan riset terapan dan inovasi berbasis komunitas.

Generasi muda, terutama mahasiswa kesehatan, dapat menjadi duta perubahan: mengedukasi masyarakat melalui media sosial, melakukan survei lapangan, dan menumbuhkan kesadaran bahwa malaria bukan hanya urusan nyamuk, tapi tanggung jawab bersama.

Jika pembangunan adalah kapal besar yang berlayar menuju pelabuhan SDGs, maka malaria adalah badai sunyi yang bisa membalik arah tanpa peringatan.

Kita tidak boleh puas dengan peta “bebas kasus” disebagian wilayah, sebab satu gigitan nyamuk di perbatasan dapat menyalakan kembali bara epidemi di pusat kota.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved