Opini
Ketika Penegak Jadi Pemeras
Profesi wartawan dan aktivis LSM seharusnya menjalankan peran etis: membela yang lemah, menyuarakan keadilan, dan menegakkan kebenaran.
Perspektif Yuridis: Negara Tidak Boleh Abai
Dalam perspektif hukum, praktik pemerasan oleh oknum LSM atau wartawan jelas merupakan tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 menyatakan, barang siapa dengan ancaman kekerasan atau ancaman pencemaran nama baik memaksa orang untuk menyerahkan sesuatu, dapat dihukum pidana.
Kasus di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa aparat penegak hukum sebenarnya telah bertindak. Misalnya, OTT terhadap oknum wartawan yang memeras perguruan tinggi di Manado (Kumparan, 2023). Namun, penegakan hukum sering kali berhenti pada individu, bukan menyentuh sistem. Padahal, menurut prinsip keadilan John Rawls, hukum harus bekerja untuk melindungi pihak yang paling rentan (Rawls, 1971).
Negara perlu memastikan regulasi lebih ketat: verifikasi organisasi pers, sertifikasi jurnalis, serta pengawasan terhadap LSM agar tidak menyimpang dari mandat aslinya. Tanpa itu, profesi mulia akan terus tergerus dan masyarakat kecil akan terus menjadi korban pemerasan.
Humanisme sebagai Jalan Pulang
Krisis etika wartawan dan aktivis LSM sesungguhnya mencerminkan krisis kemanusiaan. Gus Dur mengingatkan, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan itu sendiri” (Wahid, 2010). Humanisme menjadi jalan pulang: mengembalikan jurnalisme dan aktivisme pada panggilan mulianya.
Di titik ini, refleksi moral harus ditanamkan kembali. Wartawan tidak boleh melupakan fungsi mendidik dan mencerdaskan. Aktivis tidak boleh menjadikan idealisme sebagai komoditas. Dan masyarakat harus lebih kritis terhadap praktik-praktik pemerasan yang berkedok moralitas.
Penutup
Ketika penegak idealisme justru menjadi pemeras, yang terkikis bukan hanya etika profesi, melainkan juga fondasi humanisme. Wartawan dan LSM seharusnya menjaga kepercayaan publik, bukan memperdagangkannya. Negara memiliki kewajiban menindak tegas, sementara masyarakat sipil harus memperkuat kesadaran kritis.
Jika tidak, jurnalisme akan kehilangan martabatnya, aktivisme akan kehilangan maknanya, dan demokrasi akan kehilangan rohnya. Karena pada akhirnya, integritas adalah satu-satunya modal yang membuat profesi ini dihormati. Dan tanpa integritas, mereka hanyalah pedagang ancaman dengan wajah moralitas palsu. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.