Opini
Ketika Penegak Jadi Pemeras
Profesi wartawan dan aktivis LSM seharusnya menjalankan peran etis: membela yang lemah, menyuarakan keadilan, dan menegakkan kebenaran.
Oleh
Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus STF Seminari Pineleng dan IAIN Manado
FENOMENA keterlibatan sebagian oknum lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti korupsi dan wartawan dalam praktik pemerasan di Sulawesi Utara menimbulkan luka moral yang mendalam. Profesi yang sejatinya menjadi benteng moral dan pengawal demokrasi justru tercoreng oleh perilaku mereka sendiri. Apa yang seharusnya menjadi tugas luhur – mendidik, mengkritik, dan mengawasi – berubah menjadi instrumen mencari keuntungan pribadi. Tulisan ini hendak mengurai fenomena tersebut melalui perspektif filsafat humanisme, etika jurnalisme dan aktivisme, dimensi sosial-psikologis, hingga aspek yuridis.
Filsafat Humanisme yang Dikhianati
Humanisme menempatkan martabat manusia sebagai pusat kehidupan sosial. Dalam kerangka ini, profesi wartawan dan aktivis LSM seharusnya menjalankan peran etis: membela yang lemah, menyuarakan keadilan, dan menegakkan kebenaran. Gus Dur pernah menegaskan, “Kemanusiaan di atas segalanya. Politik, ekonomi, bahkan agama sekalipun harus melayani kemanusiaan” (Wahid, 2010).
Namun ketika wartawan atau aktivis justru memeras pihak lain dengan ancaman pemberitaan atau laporan palsu, mereka sesungguhnya telah mengkhianati fondasi humanisme itu sendiri. Alih-alih memperjuangkan martabat manusia, mereka merendahkan sesama demi keuntungan pribadi. Dalam bahasa Foucault, kekuasaan yang melekat pada posisi sosial mereka berubah menjadi instrumen dominasi baru (Foucault, 1977).
Etika Jurnalisme dan Aktivisme yang Luntur
Jakob Oetama, salah satu pendiri Kompas, menegaskan bahwa “Pers Indonesia hanya bisa hidup sehat jika berkomunikasi secara tulus” (Oetama, 2001). Kepercayaan publik adalah modal utama jurnalisme. Begitu pula aktivisme LSM, yang seharusnya berakar pada integritas moral dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat.
Namun di lapangan, sejumlah kasus memperlihatkan sisi gelap itu. Tahun 2022, empat orang yang mengaku wartawan di Manado ditangkap polisi karena melakukan pemerasan terhadap pemilik restoran (Liputan6, 2022). Kasus serupa menimpa seorang anggota LSM di Manado pada 2023 yang kedapatan memeras seorang dosen dengan dalih pengawasan (JPNN, 2023).
Kejadian-kejadian ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga degradasi etika profesi. Jurnalisme yang mestinya mengawal demokrasi berubah menjadi alat intimidasi. Aktivisme anti korupsi yang seharusnya mengawasi negara justru diperalat sebagai senjata mengeruk keuntungan.
Dimensi Sosial-Psikologis
Secara psikologis, fenomena ini bisa dipahami melalui teori kebutuhan Abraham Maslow. Bagi oknum wartawan atau LSM yang tidak memiliki basis ekonomi kuat, profesi mulia itu bisa tergelincir menjadi sekadar alat “mencari makan”. Dorongan kebutuhan fisiologis dan keamanan mendorong mereka mengorbankan nilai moral.
Dari sisi sosial, munculnya wartawan “gadungan” atau LSM abal-abal juga dipicu oleh rendahnya regulasi organisasi dan lemahnya literasi hukum masyarakat. Banyak kepala desa atau pelaku usaha di Sulut mengaku lebih takut pada ancaman pemberitaan negatif daripada menghadapi proses hukum yang benar. Situasi ini memberi ruang subur bagi praktik pemerasan.
Habermas (1981) menyebut kondisi ini sebagai kegagalan “tindakan komunikatif” yang seharusnya berbasis pada rasionalitas dan kesalingpercayaan. Yang terjadi justru relasi kuasa timpang: wartawan/LSM sebagai pengancam, masyarakat sebagai korban.
Perspektif Yuridis: Negara Tidak Boleh Abai
Dalam perspektif hukum, praktik pemerasan oleh oknum LSM atau wartawan jelas merupakan tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 menyatakan, barang siapa dengan ancaman kekerasan atau ancaman pencemaran nama baik memaksa orang untuk menyerahkan sesuatu, dapat dihukum pidana.
Kasus di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa aparat penegak hukum sebenarnya telah bertindak. Misalnya, OTT terhadap oknum wartawan yang memeras perguruan tinggi di Manado (Kumparan, 2023). Namun, penegakan hukum sering kali berhenti pada individu, bukan menyentuh sistem. Padahal, menurut prinsip keadilan John Rawls, hukum harus bekerja untuk melindungi pihak yang paling rentan (Rawls, 1971).
Negara perlu memastikan regulasi lebih ketat: verifikasi organisasi pers, sertifikasi jurnalis, serta pengawasan terhadap LSM agar tidak menyimpang dari mandat aslinya. Tanpa itu, profesi mulia akan terus tergerus dan masyarakat kecil akan terus menjadi korban pemerasan.
Humanisme sebagai Jalan Pulang
Krisis etika wartawan dan aktivis LSM sesungguhnya mencerminkan krisis kemanusiaan. Gus Dur mengingatkan, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan itu sendiri” (Wahid, 2010). Humanisme menjadi jalan pulang: mengembalikan jurnalisme dan aktivisme pada panggilan mulianya.
Di titik ini, refleksi moral harus ditanamkan kembali. Wartawan tidak boleh melupakan fungsi mendidik dan mencerdaskan. Aktivis tidak boleh menjadikan idealisme sebagai komoditas. Dan masyarakat harus lebih kritis terhadap praktik-praktik pemerasan yang berkedok moralitas.
Penutup
Ketika penegak idealisme justru menjadi pemeras, yang terkikis bukan hanya etika profesi, melainkan juga fondasi humanisme. Wartawan dan LSM seharusnya menjaga kepercayaan publik, bukan memperdagangkannya. Negara memiliki kewajiban menindak tegas, sementara masyarakat sipil harus memperkuat kesadaran kritis.
Jika tidak, jurnalisme akan kehilangan martabatnya, aktivisme akan kehilangan maknanya, dan demokrasi akan kehilangan rohnya. Karena pada akhirnya, integritas adalah satu-satunya modal yang membuat profesi ini dihormati. Dan tanpa integritas, mereka hanyalah pedagang ancaman dengan wajah moralitas palsu. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.