Opini
Dari Moderasi Beragama ke Kurikulum Cinta
Moderasi beragama bukanlah upaya mencairkan keyakinan, atau memaksakan kompromi terhadap ajaran agama.
Dalam berbagai riset yang kami lakukan, kami mendapati guru-guru di setiap satuan pendidikan, baik itu madrasah, sekolah dan pesantren, siap berubah. Mereka hanya butuh arah, inspirasi, dan dukungan sistemik.
Tantangan dan Harapan
Tentu, implementasi Kurikulum Cinta tidak tanpa tantangan. Banyak sekolah dan madrasah masih terjebak dalam budaya pendidikan yang serba instruksional dan kaku. Penilaian masih berfokus pada angka, bukan pada perubahan sikap.
Beban administrasi guru pun cukup berat. Namun, semua itu tidak boleh membuat kita berhenti melangkah. Sebab masa depan pendidikan Islam (baca: pendidikan agama) dan Indonesia secara keseluruhan sangat bergantung pada bagaimana kita mendidik hari ini.
Maka saya percaya, Kurikulum Cinta bukan sekadar inovasi kurikulum. Ia adalah gerakan moral dan spiritual. Sebuah ajakan untuk mengembalikan ruh pendidikan sebagai jalan cinta dan pengabdian.
Di tengah dunia yang makin kompetitif, penuh tekanan, dan kadang kehilangan arah, pendidikan berbasis kasih sayang adalah kebutuhan yang mendesak.
Sudah saatnya kita berpindah dari sekadar menghafal nilai-nilai ke menghidupinya. Dari sekadar slogan moderasi ke tindakan nyata dalam kelas. Dari pendidikan yang kaku ke pendidikan yang hangat.
Dari sekadar mengajar, menuju mendidik dengan cinta. Dan itu semua bisa dimulai dari satuan pendidikan (madrasah, pesantren, sekolah) tempat di mana kita membentuk masa depan bangsa, satu hati dan satu jiwa pada satu waktu. (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.