Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Dari Moderasi Beragama ke Kurikulum Cinta

Moderasi beragama bukanlah upaya mencairkan keyakinan, atau memaksakan kompromi terhadap ajaran agama.

Tribun Manado/HO
OPINI - Opini oleh Dekan FTIK IAIN Manado,Arhanuddin Salim. Dari Moderasi Beragama ke Kurikulum Cinta 

Oleh:
Arhanuddin Salim
Dekan FTIK IAIN Manado

BEBERAPA tahun terakhir, Kementerian Agama Republik Indonesia mengusung sebuah agenda penting yang menjadi bagian dari penguatan karakter bangsa: moderasi beragama. Sebuah istilah yang mulai akrab di telinga, namun tak selalu dipahami secara mendalam. 

Moderasi beragama bukanlah upaya mencairkan keyakinan, atau memaksakan kompromi terhadap ajaran agama. Ia justru hadir sebagai tawaran jalan Tengah, agar kita tidak terjebak dalam sikap ekstrem, baik dalam beragama secara kaku maupun dalam mempraktikkan kebebasan tanpa batas.

Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, moderasi menjadi kunci untuk membangun kehidupan yang damai dan adil. Tapi satu pertanyaan penting muncul: bagaimana nilai-nilai ini benar-benar hidup dalam masyarakat? 

Jawabannya, tentu, melalui pendidikan. Dan lebih khusus lagi, melalui guru-guru kita di sekolah, madrasah dan pesantren, yang setiap hari mendidik generasi muda di ruang-ruang kelas.

Inilah titik temu antara semangat moderasi dan lahirnya Kurikulum Cinta. Sebuah pendekatan baru yang kini mulai diperkenalkan oleh Kementerian Agama. Nasaruddin Umar (2025) menjelaskan bahawa “Kurikulum Cinta adalah konsep yang menekankan pendidikan berbasis kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan”. 

Bagi penulis, kurikulum ini lahir bukan dari laboratorium gagasan yang abstrak, tetapi dari kenyataan bahwa anak-anak kita tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan, tetapi juga kasih sayang.

Mendidik Bukan Hanya Mengajar

Kurikulum Cinta menawarkan sebuah lompatan cara pandang: bahwa pendidikan harus menggerakkan hati sebelum mengisi otak. Bahwa peserta didik bukan semata objek evaluasi, tetapi subjek yang memiliki emosi, spiritualitas, dan impian. 

Dalam Kurikulum Cinta, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi menjadi pendidik sejati yang membangun relasi dengan murid melalui empati, keteladanan, dan ketulusan.

Konsep ini berdiri di atas empat pilar utama. Pertama, cinta kepada Tuhan (hablum minallah), yang ditanamkan melalui pembelajaran yang mendorong kedekatan spiritual dan refleksi iman. Kedua, cinta kepada sesama manusia (hablum minannas), diwujudkan dalam penguatan nilai toleransi, empati, dan kerja sama. 

Ketiga, cinta kepada lingkungan (hablum bi’ah), karena pendidikan yang sejati tak boleh melupakan tanggung jawab ekologis. Dan keempat, cinta kepada bangsa (hubbul wathon), yakni semangat cinta tanah air yang disertai niat untuk membawa manfaat bagi umat dan bangsa (Suyitno, 2025)

Dari Moderasi ke Aksi Nyata
Bagi saya, Kurikulum Cinta adalah bentuk operasional dari moderasi beragama dalam dunia pendidikan. Jika selama ini moderasi beragama lebih banyak hadir dalam seminar dan naskah kebijakan, maka kini ia menjelma menjadi pendekatan praktis yang bisa dihidupkan di kelas, dalam interaksi nyata antara guru dan murid. 

Kurikulum Cinta mengajak kita untuk tidak hanya mendidik pikiran, tetapi juga membentuk hati yang penuh welas asih.

Sebagai Dekan di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Manado, saya melihat bahwa inisiatif ini menjawab kerinduan banyak guru: bagaimana membuat kelas yang lebih manusiawi, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved