Opini
BSG Korban Konflik Kepentingan Elit Gorontalo
Mencoba mengurai polemik tersebut secara lebih sistematis dengan memetakan persoalan dari sudut pandang politik lokal, mekanisme kelembagaan
Oleh: Baso Affandi
POLEMIK keterwakilan Gorontalo dalam jajaran Komisaris dan Direksi Bank Sulut Gorontalo (BSG) kembali mengemuka dan menuai berbagai reaksi di ruang publik. Ketidakhadiran figur dari Gorontalo dalam struktur strategis tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ini merupakan bentuk marginalisasi struktural atau justru hasil dari kegagalan internal elit Gorontalo dalam merumuskan sikap kolektif yang solid?
Tulisan ini mencoba mengurai polemik tersebut secara lebih sistematis dengan memetakan persoalan dari sudut pandang politik lokal, mekanisme kelembagaan, hingga dampaknya terhadap kepentingan masyarakat luas.
Dinamika Kelembagaan dan Prosedural
Secara formal, struktur Komisaris dan Direksi BSG ditentukan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Setiap pemegang saham, dalam hal ini pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang memiliki saham di BSG, memiliki hak untuk mengusulkan nama-nama calon sesuai porsi kepemilikan. Dalam praktiknya, usulan ini tentu membutuhkan proses komunikasi dan kompromi politik antarpemegang saham agar tercapai kesepakatan kolektif.
Namun, pada RUPSLB terbaru, tak satu pun nama yang disodorkan dari pihak Gorontalo secara resmi dalam forum. Hal ini kemudian dikukuhkan dengan pengumuman susunan Komisaris dan Direksi oleh Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus Komaling, yang menyatakan bahwa seluruh pemegang saham hadir dan telah menyepakati nama-nama tersebut secara bulat.
Perseteruan Elit: Politik di Balik Kursi
Absennya keterwakilan Gorontalo dalam struktur baru BSG tampaknya tidak dapat dilepaskan dari konflik personal dua tokoh utama daerah ini: Gubernur Gusnar Ismail dan Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea. Sejarah mencatat dinamika relasi yang naik-turun antara keduanya. Adhan, yang dahulu mendukung Gusnar dalam Pilgub, merasa tidak mendapatkan dukungan yang setimpal saat dua kali mencalonkan diri dalam Pilwako. Kekecewaan ini menyisakan jejak emosional yang terus membayang dalam setiap kontestasi politik maupun kebijakan publik.
Kondisi ini mencapai puncaknya dalam proses penentuan usulan Komisaris dan Direksi BSG. Kedua tokoh membawa calon berbeda, tanpa mampu merumuskan satu nama yang disepakati bersama. Akibatnya, Gorontalo kehilangan momentumnya untuk menempatkan figur representatif dalam posisi strategis tersebut.
Antara Persepsi Marginalisasi dan Realitas Internal
Pasca-RUPSLB, muncul narasi bahwa ketidakhadiran perwakilan Gorontalo merupakan bentuk penzoliman oleh Sulawesi Utara terhadap Gorontalo. Narasi ini tentu menarik secara emosional, namun tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang terjadi. Sebab, jika benar ada kehendak politik yang kuat dari para pemegang saham asal Gorontalo, mestinya mereka bisa mengajukan nama resmi dalam forum. Fakta bahwa itu tidak terjadi menandakan adanya persoalan internal yang jauh lebih serius daripada sekadar dikotomi "pusat vs pinggiran."
Kepentingan Rakyat yang Terabaikan
Yang paling dirugikan dari semua ini adalah rakyat Gorontalo. Ketika elit politik terjebak dalam konflik personal dan tarik-menarik kepentingan, maka agenda pembangunan dan penguatan ekonomi daerah menjadi korban. Posisi di Komisaris dan Direksi BSG bukan sekadar simbol, melainkan instrumen strategis untuk mengawal arus investasi, memperluas akses perbankan, dan memperkuat ekonomi daerah. Ketidakhadiran Gorontalo di dalamnya tentu menyulitkan optimalisasi peran tersebut.
Jika pun nanti muncul solusi berupa penambahan struktur Komisaris dan Direksi untuk mengakomodasi Gorontalo, hal itu harus dilihat sebagai bentuk kebesaran hati dari pihak Sulawesi Utara, bukan kemenangan diplomasi elit Gorontalo. Sebab, mereka telah gagal menunjukkan kapasitas perjuangan yang bersatu dalam forum resmi.
Penutup: Membangun Politik yang Dewasa
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.