Catatan Seorang Jurnalis
Indahnya Mengampuni
Dia pria tua yang kehilangan anaknya, seorang gadis manis berumur 7 tahun. Pelakunya adalah tetangga sendiri.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Saya tersentak. Pria itu mengucapkan kata - kata tersebut dengan lembut dan ekspresi yang mantap.
Ia mengaku pengampunan tumbuh oleh doa yang tiap hari dipompakan pendeta serta mejelis di gerejanya.
"Saya melihat Yesus yang terpaku di kayu salib dan berkata Bapa ampunilah karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
Seketika saya sadar bahwa pengampunan adalah kewajiban kita seperti halnya Yesus sudah mengampuni saya.
Pembalasan adalah hakNya," katanya.
Kata Bapa ampunilah karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, saya kira, adalah puncak filsafat.
Allah dari kekal memasuki kesementaraan, ia yang tanpa dosa mati seperti orang terkutuk, semua karena cinta yang begitu besar pada manusia ; inilah puncak pengetahuan.
Si pria ini oleh anugerah belas kasihan Allah Bapa di surga telah menemukannya di dalam gelap yang paling gelap, dan ia pun menjadi terang.
Bukan hanya dalam kata, pria itu mempraktekkannya.
Ia mengundang keluarga pembunuh anaknya, saling bermaafan, berdoa dan makan bersama.
Dendam sudah berlalu dari desa kecil itu. Hanya ada dunia baru yang fondasinya pengampunan.
Saya pernah kehilangan ayah dan mendendam pada orang yang menyakiti hatinya sebelum ia tewas.
Ia tersandung kasus korupsi dan saya yang bersumpah agar dia menderita, menggempurnya mati - matian di pemberitaan.
Sampai dia akhirnya masuk penjara.
Dia jatuh sejatuh - jatuhnya. Tapi apakah saya merasa puas?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.