Opini
Pembangunan Kebudayaan di Sulawesi Utara? Suatu Catatan Refleksif
Apa kabar pemajuan kebudayaan di Sulawesi Utara? Manakah pengarusutamaan kebudayaan di sini?
Begitu pula sebagian desa kecamatan sudah mengalami ekspansi toko Indomart dan Alfamart yang mengubah wajah desa semakin terang-benderang menuju gaya hidup urban, sedangkan warung-warung gurem mulai gulung tikar.
Bilamana pemerintah di pedesaan sudah coba menghiasi pintu masuk desanya dengan gapura dan papan nama, pemerintah kabupaten sudah mulai memperindah ruang publik di dekat perkantoran di kota kabupaten dengan taman, patung, dan monument, sedangkan pemerintahan kota sudah mempercantik area trotoar bagi pejalan kaki.
Di kawasan pantai dan boulevard Manado sudah dibangun lokasi bagi pejalan kaki dan ada bangku-bangku beton bagi pelancong yang ingin istirahat sejenak; ini dibangun oleh Walikota Bpk. A. Angouw. Sedangkan di kota Bitung masyarakat mengatakan bahwa Walikota H. Sondakh sudah membangun patung-patung ikan tuna sebagai simbol kota, sedangkan Wali Kota Bpk. M. Lomban menampilkan patung tangkasi, dan Walikota sekarang ini Bpk. M. Mantiri menghiasi trotoar kota dengan bola beton yang besar yang dijuluki lato-lato oleh warganya. Kota Tomohon mempercantik diri dengan pelbagai taman bunga dan resort serta restoran dengan mempromosikan keindahan alamnya, dan menjadi tempat untuk berpose foto bagi para pengunjung.
Kabupaten di kepulauan Sangihe dan Talaud dan di Bolaang Mongondow agak bingung ingin memperindah pulau yang mana, dan yang dipilih ialah pembangunan jalan lingkar pulau dan menata kawasan pantai dekat ibukotanya untuk tempat wisata warganya.
Sedangkan pemerintah propinsi SULUT menggalakkan pembangunan rumah-rumah sakit umum dan khusus yang berskala nasional (dan internasional); sudah banyak pasien rujukan dari pelbagai daerah di Timur Indonesia yang menikmati layanan Balai Kesehatan Mata di Manado, misalnya, karena ini satu-satunya yang ada di bagian Timur.
Di tahun politik, 2024, ini, bermunculanlah pelbagai kreasi desain grafis yang memajang pasfoto para calon legislatif dan bakal calon kepala-kepala daerah, entah di posisi ‘papan satu’ atau ‘papan dua’; dan bahasa iklan semakin berkembang.
Di pelbagai sudut jalan yang ramai akan terlihat pelbagai pasfoto para calon ini dengan mengedepankan entah pakaian bernuansa religious, gelar dan prestasi yang diperolehnya, relasi kekeluargaan dan/atau daerahnya; masing-masing menawarkan diri untuk dipinang.
Semakin dekat hari H itu, semakin banyak yang mempromosikan dirinya, termasuk mereka yang dirantau dan kini rencana mau pulang kampung bila dipilih.
Masyarakat biasa setiap hari menyisihkan minimal satu jam lamanya untuk melirik handphone mereka untuk mencari apa yang lagi viral di media sosial, entah tik-tok, faccebook, dsb, seraya mencoba mengisi konten dan menunggu berapa banyak yang like. Semakin banyak penggemar, semakin populer orangnya. Kebiasaan untuk mengambil foto kiri-kanan, jepret ke sini ke mari menandai kehidupan harian warga, terlebih pada hari sabtu dan minggu.
Kalangan cewek-cewek dan ibu-ibu muda pun berlomba-lomba menampilkan tarian beregu dan/atau massal line dance dengan iringan lagu Maria-Mariana, Ikan nae di pante, dari daerah Nusa Tenggara Timur, dengan kostum celana jeans ketat dan kaos olah raga yang berwarna-warni; tarian tradisional maengket, katrili, polines, atau pun nyanyian mahrzani, masamper, makaaruyen, sudah disimpan rapat dalam memori massa, atau masih ditampilkan oleh kaum lansia di satu dua desa.
Pakaian seragam tarian kabasaran semakin diminati oleh sekelompok bapa-bapa muda di beberapa desa, dengan membuat kreasi topi yang semakin tinggi dan ramai dipadati dengan buluh ayam jantan serta tengkorak monyet, sedangkan tariannya sudah tidak diketahui lagi; yang penting sudah bisa tampil dan berteriak sangar. Tetapi musik kulintang yang sedang diusahakan untukmendapat pengakuan dari Unicef hampir tidak kedengaran atau dijumpai.
Perayaan-perayaan kecil pada tingkat keluarga batih, seperti Hari Ulang Tahun, pesta kawin, dan malah pada rangkaian acara kematian yang berlangsung paling kurang satu minggu, sudah lasim dimeriahkan dengan nyanyian-nyanyian karaoke dengan sound system yang memekakkan telinga, tapi semakin keras semakin top; yang tampil menyanyi pun diminta kepada semua tokoh-tokoh masyarakat, entah pejabat pemerintah ataupun pejabat agama, serta tamu-tamu terhormat lainnya, sebelum microphone diserahkan kepada penyanyi andalan setempat yang menyanyikan lagu-lagu wajib favoritnya yang sama pada setiap kesempatan. Juga dalam suasana duka-kematian penyanyi karaoke-an pasti ada, yang kadang kala disertai dengan tarian line dance.
Beginilah sekilas pintas “kegiatan cipta, rasa, karsa, dan hasilnya’ (atau kebudayaan) yang saya amati sedang hidup dan dihidupi oleh warga masyarakat Sulawesi Utara. Trend yang diikuti sesuai arus perkembangan global, modis dan feshen, tanpa adanya suatu grand design untuk memajukan secara aktif, terarah dan tertata kebudayaan itu.
Masyarakat sedang dipengaruhi dengan budaya kapitalis-industrialis-urban untuk menjadi masyarakat konsumen (a la Jean P Baudrillard) dan masyarakat tontonan (display society a la Guy Debord). Dengan demikian pantaslah dipertanyakan “ke manakah arah perkembangan hidup masyarakat di Sulawesi Utara ini”? Perlukah warga merancang bangun impian SULUT EMAS tahun 2045?
Pineleng, 25 Juni 2024.
(advertorial)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.