Opini
Pembangunan Kebudayaan di Sulawesi Utara? Suatu Catatan Refleksif
Apa kabar pemajuan kebudayaan di Sulawesi Utara? Manakah pengarusutamaan kebudayaan di sini?
oleh:
Paul R. Renwarin
MINGGU lalu seorang teman menghentak saya dengan suatu pertanyaan, apa kabar pemajuan kebudayaan di Sulawesi Utara? Manakah pengarusutamaan kebudayaan di sini? Ini memang suatu pertanyaan yang kabur tapi mengusik dan jawaban spontan yang bisa disampaikan itu serupa dengan dialog basa basi yang abstrak antara dua kenalan, Hai, apa kabar? yang dijawab spontan tanpa makna, baik-baik saja.
Terhadap pertanyaan bagaimana pemajuan kebudayaan di Sulawesi Utara? saya belum sempat menjawab baik-baik saja atau okey-okey saja, tetapi saya langsung membuat beberapa catatan kecil refleksif sebagai suatu coretan pena.
Mengapa pemajuan kebudayaan di Sulut itu kabur? kalau pada tingkat nasional sudah ada grand design untuk Indonesia emas tahun 2045, sedangkan untuk Sulawesi Utara belum terdengar adanya master plan menuju Sulut Emas.
Kekaburan ini bisa jadi sudah membingungkan para pemangku kepentingan sejak perencanaannya, yaitu mulai pada ketidakjelasan atau ketimpangan pemahaman tentang apa itu’kebudayaan’ dan apa itu ‘pemajuan’.
Memang dalam rumusan Undang-undang RI Nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan sudah jelas dirumuskan pada pasal 1 no.1 bahwa “kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya manusia”, tetapi rupanya ada paham tersembunyi yang dominan tentang kebudayaan sebagai ‘kegiatan seni budaya tradisional (dari jaman dulu) dari suatu kelompok etnis yang berada di suatu daerah (khususnya di pedesaan dan pertanian)’.
Sedangkan pada pasal 1 no. 3 dikatakan bahwa “pemajuan kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan”; itu belum masuk dalam pemahaman para pemangku kepentingan, karena kerancuan pemahaman kebudayaannya yang tersembunyi itu.
Bila dilihat dari sebagian paham kebudayaan, yaitu sebagai ‘hasil karya manusia’, khususnya lewat pelbagai obyek pemajuan kebudayaan (sesuai pasal 5 UU no. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, yaitu: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional), maka ada beberapa hal yang mudah teramati dalam kegiatan hidup masyarakat di Sulawesi Utara yang berkembang dan berubah.
Gerak kehidupan harian masyarakat di pedesaan ditandai dengan kesibukan pertanian rakyat yang sangat bergantung pada musim dan iklim, dan sejak awal tahun 2024 ini pelbagai desa mengalami panen buah yang berlimpah (durian, duku, langsat, rambutan, mangga) sampai banyak yang membusuk karena tak terjual; hasil pertanian masih tetap dijual mentah, belum ada pengolahan pascapanen atau hilirisasi untuk menciptakan produk yang lebih awet dan mudah dieksport dalam kondisi siap pakai.
Tehnologi tradisional untuk memetik buah pun masih dipertahankan, walau cukup menyita waktu dan tenaga kerja; contohnya sekarang mulai musim petik cengkih, dan sudah banyak tangga bambu darurat yang dibuat ad hoc untuk para pemetik.
Juga sampai akhir Juni 2024 ini masyarakat di Minahasa Utara sudah merayakan pesta pengucapan buah yang diselenggarakan pada masing-masing desa dan masing-masing denominasi secara tersendiri.
Kegiatan rutin masyarakat di perkotaan ditandai dengan kesibukan jual-beli di pasar-pasar tradisional; beberapa pasar tradisional di kota Manado dan di Tomohon sudah terlihat semakin tertata dan teratur, sedangkan kebanyakan pasar tradisional masih tetap dalam kondisi kumuh, kotor, berlumpur.
Sebagian pertokoan dan pasar swalayan sudah mulai nampak semakin sunyi karena kalah bersaing dengan sistem penjualan on line.
Begitu pula sarana transportasi publik, seperti mikrolet dan motor ojek (yang menjadi peluang kerja bagi generasi muda penganggur), semakin kurang beroperasi, karena kalah bersaing melawan in drive, gojek.