Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Keraton Ulama

DINAMIKA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia tidak akan terlepas dari wacana  kekuatan massa Nahdlatul Ulama (NU).

Editor: David_Kusuma
DOk Pribadi
AB Rusli 

Penulus: A B Rusli (Dosen IAIN Manado)

DINAMIKA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia tidak akan terlepas dari wacana  kekuatan massa Nahdlatul Ulama (NU).

Kekuatan ini misalnya terlihat ketika KH Ma’ruf Amin menjadi tokoh politik nasional yang membawa doktrin tradisionalisme Islam secara konsisten. Terpisah dari itu, KPU RI menyatakan ada 204.807.222 jiwa yang akan menjadi pemilih tetap dalam pilpres tahun depan.

Survei SMRC menunjukkan jika 20 persen (40.961.444 jiwa) warga Indonesia mengaku anggota NU. 8,6 % sebagai anggota aktif dan 11,7 % sebagai anggota tidak aktif.  Secara kultural, jumlah massa NU tentu saja jauh lebih besar. Sehingga, warga NU memang menjadi target pencarian dukungan politik.

Pesantren adalah ‘Keraton Ulama’ yang mulai intens didatangi politisi. Perebutan suara warga Nahdliyin di Jawa Timur merupakan pertarungan sengit.  Tesis sekularisasi yang hendak memisahkan urusan agama dan politik memang sempat menjadi perdebatan dikalangan NU.

Namun, saya menilai ide ini justru bertentangan dengan prinsip dasar Pancasila yang mendorong terjadinya integrasi antara aspek religiusitas dan demokrasi secara proporsional. Tradisi pengajaran Islam di pesantren berhasil mengikat relasi Ulama, santri dan masyarakat lokal dalam kerangka paternalisme, patron-klien dan kekuasaan kharismatik. Pada 2001, pesantren di Indonesia berjumlah 11.312 lembaga. 7.306 adalah milik NU dan 1.954 ada di Jawa Timur (Kang Young Soon, 2007).

Tulisan ini berupaya mengangkat kembali masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dari warga sipil Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik pada rezim sebelumnya. Barangkali saja isu tersebut dapat menjadi bahan diskusi antara Ulama dan para calon pemimpin bangsa menjelang pilpres 2024.

Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (KBB)

Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) termasuk bagian penting hukum internasional yang diakui dalam UUD 1945 (Pasal 28A-J dan Pasal 29), UU HAM No. 39/1999, dan UU NO. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR. KBB menjamin warga negara agar bebas menjalankan ibadah, memiliki tempat ibadah, menggunakan simbol agama, memperingati hari besar keagamaan, memilih pemimpin agama, mengajarkan ideologi keagamaan, hak menentukan pendidikan agama serta mengajukan keberatan yang didasarkan pada hati  nurani (conscientious objection).

Meskipun demikian, pelanggaran KBB masih terus menimpa kelompok minoritas non-Islam di berbagai daerah sebagaimana laporan Setara Institute (2017).

Dalam Rising Islamic Conservatism in Indonesia: Islamic Groups and Identity Politics (2021), Muhtadi dan Halida menunjukkan bahwa ketika umat Muslim di Indonesia merasa dirugikan secara ekonomi dan politik, mereka cenderung mengidentifikasi diri melalui anasir-anasir keagamaan dengan cara mendukung kelompok konservatif lalu memainkan politik identitas.

Hefner (2000) telah memperingatkan jika Indonesia ingin memiliki harapan besar akan iklim demokratisasi, maka persyaratan utamanya tidak lain adalah dengan menarik penduduk Muslim secara totalitas ke dalam proses tersebut melalui kesepakatan-kesepakatan moral. Dengan demikian, mereka perlahan akan merasa bebas dan aktif berpartisipasi terhadap proses pembuatan kebijakan publik.

Etika Publik Ulama

Sebelum Muktamar NU 1979, KH. Achmad Siddiq menyampaikan tiga hal. Pertama, Negara Indonesia wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya. Kedua, pemerintah yang sah harus ditaati selama tidak bertentangan dengan Islam. Ketiga, kalau pemerintah bersalah, maka dialog harus dilaksanakan (Bruinessen,1994).

Oleh karenanya, politik NU selalu mengikuti yurisprudensi dan kaidah-kaidah yang meminimalisasi resiko, keluwesan dan menghindari kekerasan. NU menekankan pada ketertiban, stabilitas dan penerapan hukum yang objektif dalam struktur kekuasaan (Fealy,1998).

Michael Feener pun melihat banyak Ulama progresif di kalangan NU yang mampu memadukan pengetahuan keagamaan yang mapan dengan wawasan mengenai peran Islam dalam kehidupan publik Indonesia (Kersten,2018). NU juga memiliki komitmen kerakyatan yang begitu kuat. Sebab, mayoritas orang-orang NU berasal dari masyarakat akar rumput (Ida, 1994).

Akan tetapi, hal yang perlu kita ingat ialah temuan Ricklefs (2008). Ia menjelaskan jika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sempat berhasil menyusup masuk ke dalam tubuh NU.

Sehingga, pada 2007, KH Hasyim Muzadi menyatakan bahwa NU akan bekerja keras melawan ekstrimisme dan mempertahankan moderatisme Islam dengan kerangka multikulturalisme. Sebelum 1985, NU adalah penganut paham Islam formalis. Tapi, sesudah 1985 NU menjadi penganut Islam substansialis dalam arti menerima asas tunggal Pancasila sekaligus mendukung Islam kultural.

Sejak akhir 1999, Abdurrahman Wahid (1940-2009) menjabat Presiden RI. Gus Dur memperlihatkan kecerdasan yang distingtif dan memiliki komitmen yang kuat akan realitas pluralisme sekaligus melawan gejala dogmatisme beragama.

Dalam Democratization and Islam in Indonesia (2013), Mirjam Kunkler & Alfred Stephan menyebut jika NU di bawah Gus Dur mengambil peran strategis dalam meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru dan kemudian mewujudkan suasana kehidupan sosial yang demokratis. Mereka menemukan bahwa para Ulama NU sering menggunakan argumen keagamaan dalam diskursus publik guna mendukung kemapanan ide-ide demokrasi tersebut.

Peran Ulama memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan keagamaan dan sosio-politik umat Islam. Modal pengetahuan akidah serta fikih yang mereka kuasai membuat mereka mudah beradaptasi secara sosial melalui diskursus bahasa Islam kontemporer yang bisa diterima secara luas. Reformulasi Islam oleh ulama yang berlangsung terus-menerus menandai keterlibatan mereka dalam pembentukan humanisme sipil (civic humanism) dalam politik Indonesia. (Burhanudin, 2012).

NU adalah sebuah organisasi yang dikontrol para Ulama yang memiliki kekuatan sosial dalam bentuk mobilisasi jumlah anggota dan simpatisan di ruang publik. Tradisionalisme Islam sering memadukan dimensi religiusitas, historisitas dan standar kebudayaan lokal untuk memperkuat dasar pemikiran ortodoksi Islam Nusantara yang tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan I’tidal (adil).

Sebagai penutup, saya melihat kalangan NU masih terus mempertahankan konsep transendentalisme melalui pengajaran agama Islam dalam kurikulum pesantren dan politik pengerahan massa lewat parade istighosahnya.

Pada habitus inilah, PBNU, warga Nahdliyin dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) perlu membumikan ulang ‘Moralitas Gusdurian’ dalam sistem politik pemerintahan di level pusat maupun daerah tanpa terpolarisasi oleh ego sektoral. Apakah upaya ini akan membawa kesuksesan yang nyata setelah Pilpres 2024? Sekian. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved