Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Keraton Ulama

DINAMIKA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia tidak akan terlepas dari wacana  kekuatan massa Nahdlatul Ulama (NU).

Editor: David_Kusuma
DOk Pribadi
AB Rusli 

Michael Feener pun melihat banyak Ulama progresif di kalangan NU yang mampu memadukan pengetahuan keagamaan yang mapan dengan wawasan mengenai peran Islam dalam kehidupan publik Indonesia (Kersten,2018). NU juga memiliki komitmen kerakyatan yang begitu kuat. Sebab, mayoritas orang-orang NU berasal dari masyarakat akar rumput (Ida, 1994).

Akan tetapi, hal yang perlu kita ingat ialah temuan Ricklefs (2008). Ia menjelaskan jika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sempat berhasil menyusup masuk ke dalam tubuh NU.

Sehingga, pada 2007, KH Hasyim Muzadi menyatakan bahwa NU akan bekerja keras melawan ekstrimisme dan mempertahankan moderatisme Islam dengan kerangka multikulturalisme. Sebelum 1985, NU adalah penganut paham Islam formalis. Tapi, sesudah 1985 NU menjadi penganut Islam substansialis dalam arti menerima asas tunggal Pancasila sekaligus mendukung Islam kultural.

Sejak akhir 1999, Abdurrahman Wahid (1940-2009) menjabat Presiden RI. Gus Dur memperlihatkan kecerdasan yang distingtif dan memiliki komitmen yang kuat akan realitas pluralisme sekaligus melawan gejala dogmatisme beragama.

Dalam Democratization and Islam in Indonesia (2013), Mirjam Kunkler & Alfred Stephan menyebut jika NU di bawah Gus Dur mengambil peran strategis dalam meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru dan kemudian mewujudkan suasana kehidupan sosial yang demokratis. Mereka menemukan bahwa para Ulama NU sering menggunakan argumen keagamaan dalam diskursus publik guna mendukung kemapanan ide-ide demokrasi tersebut.

Peran Ulama memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan keagamaan dan sosio-politik umat Islam. Modal pengetahuan akidah serta fikih yang mereka kuasai membuat mereka mudah beradaptasi secara sosial melalui diskursus bahasa Islam kontemporer yang bisa diterima secara luas. Reformulasi Islam oleh ulama yang berlangsung terus-menerus menandai keterlibatan mereka dalam pembentukan humanisme sipil (civic humanism) dalam politik Indonesia. (Burhanudin, 2012).

NU adalah sebuah organisasi yang dikontrol para Ulama yang memiliki kekuatan sosial dalam bentuk mobilisasi jumlah anggota dan simpatisan di ruang publik. Tradisionalisme Islam sering memadukan dimensi religiusitas, historisitas dan standar kebudayaan lokal untuk memperkuat dasar pemikiran ortodoksi Islam Nusantara yang tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan I’tidal (adil).

Sebagai penutup, saya melihat kalangan NU masih terus mempertahankan konsep transendentalisme melalui pengajaran agama Islam dalam kurikulum pesantren dan politik pengerahan massa lewat parade istighosahnya.

Pada habitus inilah, PBNU, warga Nahdliyin dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) perlu membumikan ulang ‘Moralitas Gusdurian’ dalam sistem politik pemerintahan di level pusat maupun daerah tanpa terpolarisasi oleh ego sektoral. Apakah upaya ini akan membawa kesuksesan yang nyata setelah Pilpres 2024? Sekian. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved