Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Negara dan Masyarakat Argumentatif

Mengapa mental-mental fanatisme plus feodalisme seolah sukar dihilangkan dalam sistem politik kewarganegaraan?

Editor: David_Kusuma
DOk Pribadi
AB Rusli 

Kedua, power is homogeneous. Kekuasaan bersifat tunggal. Kekuasaan yang dipegang satu individu atau kelompok sama-sama dapat melahirkan kebaikan kepada rakyat. Ketiga, power is constant. Kekuasaan bersifat tetap. Dalam budaya Jawa, alam itu statis.

Akibatnya, kekuasaan mendahului Negara. Sentralisasi kekuasaan kepada seseorang artinya mengurangi jumlah kekuasaan di tempat lain. Keempat, power without legitimacy. Kekuasaan lebih kuat daripada legitimasi karena Raja adalah representasi mutlak dari kekuasaan Tuhan di dunia untuk mengatur moralitas manusia.

Dapat disimpulkan, “perlindungan atas harkat dan martabat Presiden merupakan bentuk baru dari ketaatan terhadap ‘Raja Jawa’ di dalam Republik Indonesia”. Pendapat saya ini didukung pula oleh Herbert F. dan Lance Castles dalam Indonesian Political Thinking 1945-1965 (2007). Mereka menemukan fakta bahwa politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tradisionalisme Jawa.

Pasca 2024, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di sekolah, universitas, lembaga pemerintah dan keluarga harus diperkuat kembali. Guru dan Dosen yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki tanggung jawab besar dalam merancang diskusi terbuka yang berfokus isu-isu agama dan demokrasi.

Tekad ini tidak boleh berhenti. Setidaknya, ada tiga paradigma belajar (learning paradigm) yang dapat diterapkan. Pertama, tahap dikotomi. Pendidik memisahkan secara radikal standar kebenaran agama dan standar kebenaran demokrasi.

Kedua, tahap limitasi. Pendidik menetapkan batas nilai kebenaran agama dan batas nilai kebenaran politik dalam sistem demokrasi. Ketiga, tahap habituasi. Pendidik menciptakan budaya belajar advokasi untuk membela para korban yang dicap penista agama dan penghina Kepala Negara. Dengan pola seperti ini, masyarakat serta pemerintah kita akan semakin argumentatif di mata global.

Mereka nantinya mulai terbiasa berpikir berdasarkan kecakapan intelektual daripada melapor karena motif kebencian golongan. Karena memanjangkan akal lebih baik rasanya daripada memanjangkan lidah dan kuasa.

Masyarakat argumentatif tidak menginginkan permusuhan maupun penindasan. Mereka menuntut rasionalitas dalam beragama dan bernegara.

Stabilitas kerukunan sosial dan kualitas pembangunan nasional menurut saya sangatlah bergantung pada etika publik pemerintah. Negara jelas tidak boleh mengistimewakan posisi agama dan etnis tertentu hanya karena mereka berstatus mayoritas secara angka. Sekian ! (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved