Opini
Negara dan Masyarakat Argumentatif
Mengapa mental-mental fanatisme plus feodalisme seolah sukar dihilangkan dalam sistem politik kewarganegaraan?
Oleh: AB Rusli
Dosen IAIN Manado
SITUASI sosial di Indonesia Pasca-Orde Baru masih berbahaya. Rusaknya citra dan reputasi masyarakat kita tidak lain dari akibat meningkatnya tayangan televisi, siaran radio dan pemberitaan koran yang memperlihatkan secara terang-terangan kebrutalan emosi warga dan karakter otokrasi penguasa.
Gejala ini tentu menimbulkan kekecewaan sekaligus tanda tanya dibenak para sarjana. Mengapa pemerintah pusat atau daerah cenderung gagal membuat warga negaranya moderat dalam beragama sekaligus kritis dalam berdemokrasi?
Mengapa mental-mental fanatisme plus feodalisme seolah sukar dihilangkan dalam sistem politik kewarganegaraan? Apakah pasal penodaan agama masih perlu dipertahankan dan pasal penghinaan terhadap Presiden harus segera disahkan?
Menjawab pertanyaan di atas bukanlah perkara gampang tapi bukan berarti tidak bisa. Tulisan ini berusaha memberikan analisis sosiologis mengenai asal usul kerancuan dari kedua pasal yang bermasalah tersebut sekaligus memberikan perspektif paedagogis menyangkut bagaimana cara Negara memproduksi masyarakat argumentatif di Indonesia kontemporer.
Hanya dengan itu, bahaya vigilantisme maupun otoritarianisme dapat dihentikan. Suatu cita-cita yang harus kita perjuangkan bersama.
Memikirkan Ulang Penodaan Agama
Jika KUHP Pasal 156a dan UU PNPS No. 1 tahun 1965 diperiksa ulang, maka yang dimaksud dengan penodaan agama ialah “Tindakan menafsirkan ajaran agama lain secara sengaja di ruang publik dengan motif memusuhi, memfitnah, mengeluarkan dan memaksa”.
Dalam logika akademik, peraturan ini ambigu. Sebab, yang persoalkan dalam agama seseorang itu biasanya adalah aspek historis-politis bukan normatif-teologis. Ketidakmampuan Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri memisahkan dua aspek ini akhirnya banyak korban dipidanakan dan polisi terus diintervensi massa.
Asfinawati memiliki data ini di YLBHI. Meski 2010 pernah digugat, tapi Mahkamah Konstitusi (MK) menolaknya. Dalam kasus Islam, rasa cinta pada Allah, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad selalu menjadi alasan keributan, kemarahan sampai kekerasan di ruang publik. Apakah tindakan mereka ini otentik? Studi Cherian George (2016) menyatakan sebaliknya.
Ia mengkaji rekayasa ketersinggungan agama dan ancamannya bagi demokrasi Indonesia. Baginya, ada ketersinggungan yang sengaja diciptakan dan digunakan sebagai strategi politik guna mengeksploitasi identitas kelompok, memobilisasi pendukung dan menekan lawan.
Agen ini adalah pemimpin politik atau birokrat yang mencari kekuasaan berbasis agama. Tesis Jeremy Menchik soal Godly Nationalism di Indonesia akhirnya semakin terbukti dalam mendorong sistem kerusuhan yang terlembagakan (institutionalized riot system).
Mitos Penghinaan Presiden
Jika dipikirkan ulang, Pasal 218-219 RUU KUHP tentang tindak pidana terhadap harkat- martabat Presiden juga bersifat ambigu. Kepribadian dan kebijakan Presiden itu satu paket yang melekat secara eksistensial.
Kritik individu adalah aspirasi rakyat. Sedangkan kritik rakyat lahir dari aspirasi individu. Sehingga, kalau ada perlawanan yang dialamatkan kepada Kepala Negara dalam bentuk kata, aksi dan seni, maka itu tanda aktifnya demokrasi.
Sebaliknya, apabila Presiden dan koalisasinya tidak suka, mungkin ini tanda bangkitnya monarki. Demokrasi diukur dari seberapa kuat kebebasan sipil, hak berpolitik dan lembaga pemerintahan. Batas sopan santun dalam berdemokrasi adalah kekerasan tubuh bukan ketajaman bahasa. Saya menduga, inspirasi awal pasal ini berangkat dari nostalgia politik Jawa.
Dalam The Idea of Power in Javanese Culture (1972), Ben Anderson menjelaskan empat mentalitas Raja Jawa. Pertama, power is concrete. Kekuasaan bersifat nyata dan mengandung energi adikodrati. Kekuasaan menjelma dalam keseharian sehingga kekuasaan dapat dipertahankan dan dibagikan.
Kedua, power is homogeneous. Kekuasaan bersifat tunggal. Kekuasaan yang dipegang satu individu atau kelompok sama-sama dapat melahirkan kebaikan kepada rakyat. Ketiga, power is constant. Kekuasaan bersifat tetap. Dalam budaya Jawa, alam itu statis.
Akibatnya, kekuasaan mendahului Negara. Sentralisasi kekuasaan kepada seseorang artinya mengurangi jumlah kekuasaan di tempat lain. Keempat, power without legitimacy. Kekuasaan lebih kuat daripada legitimasi karena Raja adalah representasi mutlak dari kekuasaan Tuhan di dunia untuk mengatur moralitas manusia.
Dapat disimpulkan, “perlindungan atas harkat dan martabat Presiden merupakan bentuk baru dari ketaatan terhadap ‘Raja Jawa’ di dalam Republik Indonesia”. Pendapat saya ini didukung pula oleh Herbert F. dan Lance Castles dalam Indonesian Political Thinking 1945-1965 (2007). Mereka menemukan fakta bahwa politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tradisionalisme Jawa.
Pasca 2024, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di sekolah, universitas, lembaga pemerintah dan keluarga harus diperkuat kembali. Guru dan Dosen yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki tanggung jawab besar dalam merancang diskusi terbuka yang berfokus isu-isu agama dan demokrasi.
Tekad ini tidak boleh berhenti. Setidaknya, ada tiga paradigma belajar (learning paradigm) yang dapat diterapkan. Pertama, tahap dikotomi. Pendidik memisahkan secara radikal standar kebenaran agama dan standar kebenaran demokrasi.
Kedua, tahap limitasi. Pendidik menetapkan batas nilai kebenaran agama dan batas nilai kebenaran politik dalam sistem demokrasi. Ketiga, tahap habituasi. Pendidik menciptakan budaya belajar advokasi untuk membela para korban yang dicap penista agama dan penghina Kepala Negara. Dengan pola seperti ini, masyarakat serta pemerintah kita akan semakin argumentatif di mata global.
Mereka nantinya mulai terbiasa berpikir berdasarkan kecakapan intelektual daripada melapor karena motif kebencian golongan. Karena memanjangkan akal lebih baik rasanya daripada memanjangkan lidah dan kuasa.
Masyarakat argumentatif tidak menginginkan permusuhan maupun penindasan. Mereka menuntut rasionalitas dalam beragama dan bernegara.
Stabilitas kerukunan sosial dan kualitas pembangunan nasional menurut saya sangatlah bergantung pada etika publik pemerintah. Negara jelas tidak boleh mengistimewakan posisi agama dan etnis tertentu hanya karena mereka berstatus mayoritas secara angka. Sekian ! (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.