Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Catatan Wartawan

Pancasila, Anugerah Umum Tuhan bagi Indonesia

Data Pemkot Bitung, ada kurang lebih 2.000-an warga stateless yang berada di Bitung. Mereka tersebar di sejumlah kelurahan.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)
Patung Bung Karno di samping pohon sukun di kompleks Pelabuhan Bung Karno, Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Soekarno adalah orang yang mengusulkan penamaan dasar negara Indonesia sebagai Pancasila. 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Banyak orang Indonesia yang benci lahir di Indonesia, kemudian mengecam takdir. 

Tapi banyak pula warga negara asing yang  sangat ingin jadi warga negara Indonesia dan mereka harus patah hati.

Cinta pada Indonesia bertepuk sebelah tangan. Itu terjadi pada para Sapi atau Sangir Filipin - istilah bagi para pendatang dari Filipina yang kerja di Bitung.

Mereka bukan warga negara Indonesia dan bukan pula warga Filipina, hingga berstatus stateless. Alias tak punya negara.

Saya pernah meliput mereka sewaktu tugas di Bitung. Mereka bermukim di pinggir pantai. 

Ada belasan orang ketika saya datang. Umumnya ibu - ibu. Seseorang bernama Ricel Maloluyun tampil. 

Ia mengaku perwakilan warga. Ricel puluhan tahun tinggal di Bitung. Ia sangat fasih berbahasa Indonesia. Umumnya belum sefasih dia. Bahkan ada yang masih tertatih berbahasa Indonesia.

"Tapi kami semua cinta Indonesia, kami ingin jadi warga Indonesia," katanya. 

Saya pun menguji. Menyuruh mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. 

Mereka pun bernyanyi. Dengan sangat fasih. Tapi saya belum puas.

"Coba kalian ucapkan pancasila," kata saya.

Dan mereka satu persatu ucapkan Pancasila. Umumnya baik. Sila keempat yang biasanya salah ucap oleh orang Indonesia, anehnya, mulus diucap oleh Ricel dan beberapa ibu. 

"Kenal Duterte," tanya saya

"Ya, tapi Jokowi lebih baik," kata mereka. 

Lalu kapan jadi WNI?. 

Ekspresi gembira Racel meredup. Rupa nya mirip orang patah hati.

"Belum" katanya. 

Tak diragukan. Ia cinta Indonesia 100 persen. Sayang cinta tersebut belum berbalas.

Ia merasa layak jadi WNI, selain karena cintanya yang besar pada Indonesia, juga karena ia sudah enam tahun tinggal di Bitung.

"Saya dan keluarga sudah lama tinggal di sini," beber dia.

Data Pemkot Bitung kala itu, ada kurang lebih 2.000-an warga stateless yang berada di Bitung.

Mereka tersebar di sejumlah kelurahan. Kebanyakan bermukim di kepulauan sesuai profesi mereka sebagai nelayan.

Sebagian besar di antaranya berhasrat menjadi WNI.

Leonela Janero, warga stateless lainnya tak pernah absen dalam ibadah minggu pagi di Gereja St Maria Manembo-nembo yang berada tak jauh dari kediamannya.

Di sana, Leonela berdoa khusus agar dirinya tak dipulangkan ke Filipina. 

Kadang, ia tak mampu berdoa, hanya bisa meneteskan air mata.

"Saya berdoa pada Bunda Maria, Ibu Tuhan Yesus Kristus agar kami bisa terus di sini," ujar dia.

Air mata Leonela juga tumpah kala kediamannya didatangi petugas Imigrasi dan Pemkot Bitung beberapa waktu lalu.

Mengira akan dipulangkan, Leonela menangis meraung-raung sambil membungkuk di hadapan kaki petugas Imigrasi.

"Saya takut sekali dengan razia, namun puji Tuhan kami hanya didata saja," kata dia.

Leonela yang berasal dari General Santos mengatakan, kehidupannya di sana begitu miskin.

Paling banyak ia makan sekali sehari.

"Sedang di sini kita bisa makan dengan enak, bahkan bisa pula berusaha," kata dia.

Randi Elisan, warga Filipina lainnya, menyatakan, sulit mencari ikan di daerah asalnya Davao.

Di perairan Sulut, ia berhasil menangkap banyak ikan dan bisa menabung uang.

"Di sini lebih baik," kata dia dengan bahasa melayu Manado.

Hasrat Elisan makin bertambah kala ia bertemu dengan seorang gadis Bitung. Dia ingin memacari gadis itu.

"Jika ditanya pilih mana tentu saya pilih tinggal di sini," kata dia. 

Banyak WNI yang menggugat Tuhan, mengapa saya tak dilahirkan di Amerika Serikat, atau Eropa. 

Mereka tak sadar, Indonesia punya sesuatu yang besar. Yakni Pancasila. 

Tanpa pancasila, kita mungkin mirip Uni Sovyet dan Yugoslavia yang pecah berkeping keping.

Atau seperti Afganistan, Pakistan dan Irak, yang dilanda perang saudara berlarut larut.

Bahkan AS yang adalah negara paling demokratis di dunia, masih berkutat dengan masalah rasis.

Segregasi kulit hitam adalah masalah laten di sana. Sesuatu yang sudah lama selesai di Indonesia, saat AA Maramis, tokoh Minahasa turut menyusun dasar negara. 

Bahkan di dalam gereja. Ada gereja kulit putih. Ada gereja negro.

Di Indonesia, saya rasa, tak demikian.

Ada gereja Tionghoa, tapi penatuanya Jawa dan jemaatnya Manado atau Batak. 

Pancasila adalah pemberian Tuhan paling indah, atau bahasa saya sebagai seorang Reformed, suatu anugerah umum bagi Indonesia.

Kita harus bersyukur lahir di Indonesia. (Art)

Baca berita lainnya di: Google News.

Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved