Opini
Era Baru Selektivitas Orang Asing
Seiring dengan dilonggarkannya aturan pembatasan di perbatasan, makin marak pula kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan Orang Asing di Indonesia
Negara perlu membangun kerangka aturan yang semakin memperkuat fungsi kontrol imigrasi. Pemberian bebas visa berarti meminimalkan fungsi kontrol imigrasi terhadap orang asing yang akan datang ke Indonesia dimana tahapan pemberian visa ditiadakan.
Padahal pada tahapan inilah fungsi pengawasan keimigrasian dijalankan dan menjadi Tindakan preventif untuk menjauhkan orang asing yang bermasalah atau diduga bermasalah dari wilayah Indonesia. Seleksi dan filterisasi benar-benar dilakukan bahkan sebelum orang itu tiba di entry point perbatasan Indonesia.
Sehingga hanya orang asing yang berguna dan bermanfaat bagi kita yang tiba dan masuk kedalam wilayah negara.
Perbatasan Pintar : Era Baru Kebijakan Selektif Imigrasi
Disrupsi dalam disrupsi, kira-kira adalah istilah yang dapat menggambarkan peradaban dunia saat ini. Memasuki fase 4.0 dalam revolusi industri disusul dengan mewabahnya Covid-19 menjadi pandemi global, memaksa berbagai sektor untuk selalu berinovasi dalam bentuk terbaru yang lebih efisien, efektif dan akurat.
Biasanya termanifestasi dalam bentuk penggunaan teknologi yang memadukan unsur otomatisasi dan siber yang mengurangi sekat-sekat fisik, digital dan biologi. Dalam konteks perbatasan negara, konsep Perbatasan Pintar (Smart Border) muncul sebagai respon terhadap meningkatnya gangguan dan ancaman keamanan negara di era disrupsi. Ciri khas dari perbatasan pintar adalah kontrol imigrasi yang bersifat otomatis dengan penggunaan teknologi atau minim campur tangan manusia. Disaat bersamaan juga bersifat preventif atau pemberlakuan kontrol imigrasi yang dilakukan jauh dari wilayah perbatasan teritorial.
Salah satu peristiwa yang memicu lahirnya konsep perbatasan pintar yaitu saat terjadinya tragedi 9/11 atau penyerangan di gedung World Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001.
Tragedi itu membuat Pemerintah Amerika Serikat mereformasi sistem keamanan perbatasan mereka. Para ahli dan pakar berkumpul untuk menemukan apa saja kebocoran-kebocoran yang terjadi di perbatasan mereka sehingga para teroris pelaku penyerangan tersebut dapat lolos dan melakukan pengeboman serta apa strategi yang dapat dilakukan sehingga peristiwa yang sama tidak terjadi lagi di masa depan.
Maka dimulailah era perbatasan pintar yang juga mulai diimplementasikan di negara-negara Eropa untuk menyeleksi para migran beresiko tinggi yang akan memasuki wilayah mereka.
Dalam sebuah Webinar Center for Migration and Border Studies (CMBS), Gusti Galuh R. Sari, M.A sebagai salah satu narasumber memaparkan secara konseptual tujuan perbatasan pintar, yaitu dapat menjalankan manajemen resiko di perbatasan.
Karena dalam konteks perbatasan, manajemen resiko adalah suatu keniscayaan. Resiko yang berimplikasi negatif mungkin kecil tapi memiliki konsekuensi yang sangat besar.
Tidak membutuhkan banyak orang misalnya untuk melancarkan kegiatan terorisme, namun dampak yang dihasilkan bisa memakan banyak korban. Begitupun dengan tindak kejahatan lainnya yang beresiko terjadi atas hadirnya orang asing.
Sebaliknya, bagi orang asing yang datang membawa keuntungan bagi negara seperti investor, wisatawan mancanegara, pebisnis, dan lain-lain semestinya mendapat fasilitas percepatan di perbatasan yang efisien.
Oleh karenanya, perbatasan pintar hadir untuk memfasilitasi kedatangan orang asing yang memiliki resiko rendah namun menjadi penghambat bagi yang memiliki resiko tinggi.
Bagaimana mengimplementasikannya? Menurut Sari, langkah pertama adalah melakukan penilaian resiko (risk assessment/risk profiling) dengan penggunaan teknologi biometric dan data analytic.