Opini
Era Baru Selektivitas Orang Asing
Seiring dengan dilonggarkannya aturan pembatasan di perbatasan, makin marak pula kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan Orang Asing di Indonesia
Seperti, apa peran imigrasi? Mengapa petugas imigrasi di perbatasan justru membiarkan orang asing yang bermasalah masuk ke wilayah Indonesia?
Padahal menurut Undang-Undang, kepada imigrasi diberikan tugas untuk menjagai pintu gerbang negara. Dengan kata lain salah satu tugas utama imigrasi sebenarnya adalah memfilter siapa saja orang-orang yang “pantas” masuk atau keluar wilayah Indonesia.
Dengan adanya kasus-kasus yang ditampilkan diatas, apakah serta merta menegaskan bahwa kinerja imigrasi sedang melorot? Lantas, siapa yang harus disalahkan, perilaku petugas (human error) atau justru sistem manajemen institusinya?
Untuk merefleksikan realitas tersebut, saya mencoba menghadirkan respon dalam konteks kajian yang sederhana. Sudut pandang yang diangkat setidaknya berdasar pada suatu argumen yang meyakini bahwa kebijakan keimigrasian Indonesia harus benar-benar diletakkan pada asas selektivitas, yakni bahwa negara memiliki kewenangan absolut untuk mengatur terhadap orang-orang tertentu saja yang boleh bermigrasi ke populasi Indonesia.
Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kebijakan keimigrasian tersebut berkorelasi terhadap kecanggihan dan mekanisme negara di era baru yang sangat disruptif ini.
Diskursus Politik Hukum Keimigrasian Indonesia
Politik hukum keimigrasian di Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa. M. Alvi Syahrin (2019) membaginya dalam empat periode yaitu, pada masa Hindia Belanda (1913-1949), pada masa kemerdekaan (1950-1992), pada masa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, terakhir saat ini masa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dari pembabakan garis sejarah tersebut, garis pokok perubahan arah kebijakan keimigrasian terjadi secara drastis mulai dari Kebijakan Keimigrasian yang bersifat Open Door Policy pada masa pemerintah kolonial, di mana orang dengan mudah dapat melintas masuk keluar wilayah negara. Akibatnya semakin banyak orang asing yang datang, bekerja, dan bermukim bahkan tanpa prosedur keimigrasian yang legal.
Memasuki era kemerdakaan hingga saat ini, terjadi peralihan yang cukup signifikan. Kebijakan keimigrasian yang awalnya bersifat terbuka menjadi politik hukum yang lebih berdasarkan kepentingan nasional dan bersifat selektif. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Kebijakan Selektif (selective policy).
Pada bagian penjelasan atas Undang-Undang 6 Tahun 2011 dijelaskan bahwa berdasarkan kebijakan selektif yang menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, hanya Orang Asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah Indonesia.
Meski demikian, arah politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif ini masih dianggap bermasalah pada tataran implementasi. Meski secara de jure disyaratkan selektif dalam hal lalu lintas orang asing, namun secara de facto Indonesia “masih bernuansa terbuka” dalam sejumlah kebijakan turunannya.
Kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) misalnya, sejak tahun 1983 terus mengalami penambahan secara progresif jumlah negara yang warga negaranya dapat dengan bebas masuk tanpa harus memiliki visa. Puncaknya saat terbit Perpres Nomor 21 Tahun 2016 dimana jumlah negara subjek BVK mencapai 169 negara. Beruntung dengan adanya pandemi Covid-19, kebijakan ini untuk sementara dicabut terutama dalam rangka pengendalian penyebaran virus.
Memang pemerintah dalam membuat kebijakan ini semata-mata untuk memajukan sektor pariwisata. Rasionalitasnya adalah jika negara semakin terbuka, maka semakin banyak pula wisatawan asing yang akan datang.
Namun seiring dengan masifnya kedatangan orang asing pasti berimplikasi pada resiko-resiko yang dikuatirkan terjadi serta menganggu keamanan dan ketertiban dalam negeri. Apalagi berdasarkan sejumlah studi, tidak sedikit WNA yang terjerat kasus pidana keimigrasian maupun pidana lainnya masuk ke Indonesia menggunakan skema bebas visa.
Oleh karena itu menurut hemat saya, di momen pandemi sekarang perlu ada evaluasi yang serius terhadap kebijakan BVK ini agar sesuai dengan politik hukum keimigrasian kita yang berasaskan selective policy.