Opini
Nasionalisme Generasi Muda dan Etika Bermerah Putih
AKSI penurunan bendera oleh adik-adik mahasiswa di depan kantor Bupati Majene, Sulawesi Barat, menjadi pelajaran penting bagi Indonesia
Oleh: Dr Jannus TH Siahaan
(Doktor Sosiologi dan Pengamat Pertahanan)
AKSI penurunan bendera oleh adik-adik mahasiswa di Majene, tepatnya oleh Aliansi Organisasi Kedaerahan (Organda) di depan kantor Bupati Majene, Sulawesi Barat, menjadi pelajaran penting bagi Indonesia di satu sisi dan generasi muda di sisi lain.
Memang aksi menurunkan bendera merah putih, kemudian menaikkan kembali bersama dengan bendera organisasi, tidak dimaksudkan untuk menghina atau merendahkan bendera merah putih sebagaimana diatur dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Tapi dengan posisi konstitusional merah putih, sekaligus nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya, setidaknya dibutuhkan etika nasionalisme yang baik dalam memperlakukan bendera merah putih sebagai salah satu simbol kenegaraan yang perlu diingat oleh semua warga negara Indonesia, terutama generasi muda.
Namun kesadaran etis semacam ini nampaknya semakin pudar di era milenial ini seiring mulai terlupakannya posisi konstitusional beserta nilai dan pesan yang terkandung di baliknya.
Bendera merah putih adalah simbol negara sekaligus salah satu perwujudan nasionalisme Indonesia.
Merah putih tidak saja mewakili rasa bangga anak bangsa ketika memenangkan kompetisi internasional dengan dinaikannya bendera Indonesia sebagai representasi kenegaraan, tapi juga menyiratkan sejarah panjang bangsa ini dalam melawan kolonialisme dan imprealisme para penjajah di satu sisi dan perjalanan panjang mempersatukan keanekaragaman nasional di sisi lain.
Aksi tersebut memberi kesan yang sangat tidak elok kepada khalayak nasional bahwa generasi muda Majene kurang sensitif terhadap nilai dan pesan yang terkandung pada bendera merah putih. Sungguh sangat disayangkan.
Karena secara historis, rasa nasionalisme memberikan gambaran dan pembatas bagi rakyat Indonesia tentang siapa penjajah dan siapa yang dijajah, siapa kolonialis dan siapa pihak tertindas, dan siapa yang layak pergi angkat kaki dari tanah Ibu Pertiwi dan siapa yang sejatinya berhak menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya, yakni "bukan Belanda, bukan Inggris, dan bukan sekutu, tapi rakyat Indonesia sensori. "
Baca juga: Perkelahian Antar Kelompok Pemuda di Amurang, Polres Minsel Periksa Puluhan Warga
Baca juga: Bansos PKH Cair Mei 2022, Cek Penerima Lewat cekbansos.kemensos.go.id, Ini Kriteria Penerimanya
Karena itu pula, sangat tepat apa yang ditulis oleh Craign Calhoun dalam bukunya "Nationalism" yang terbit tahun 1997 lalu bahwa "Nationalism has emotional power partly because it helps to make us who we are, because it inspires artists and composers because it gives us a link with history (and thus with immortality).
Nasionalisme semestinya memang menyadarkan kita tentang siapa diri kita, identitas kebangsaan kita, dan mengaitkan kita dengan sejarah bangsa sendiri, yang terlepas dari kolonialisme dan imperialisme.
Selain itu, nasionalisme juga menjadi sumber dari rasa solidaritas satu bangsa dan simbol pemersatu nasional.
Nasionalisme akan membuat semua rakyat Indonesia merasakan apa yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia di mana pun berada.
Karena itulah Benedict Anderson mengistilahkan keajaiban nasionalisme tersebut dengan istilah "The Imagined Communities. "
Ben menulis, "In an anthropological spirit, then, I propose the following definition of the nation: it is an imagined political community - and imagined as both inherently limited and sovereign. It is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion."
Baca juga: Pantas Gibran Rakabuming dan Selvi Akan Tinggalkan Anaknya Lima Hari, Ternyata Ada Urusan di Paris
Baca juga: Pantas Anya Geraldine Mendadak Emosi Saat Live Instagram, Ternyata Ada Netizen Tanya Soal Ini
Untuk itu, diperlukan sikap nasional di satu sisi dan kebijaksanaan di sisi lain dalam memperlakukan simbol negara.
Dengan perlakuan kurang etis atas bendera nasional, terkesan generasi muda Majene tercerabut dari perjalanan sejarah bangsa ini sehingga lupa pada nilai dan pesan yang terkandung pada bendera merah putih.
Tentu tidak perlu memperlakukan pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam mereaksinya.
Baca juga: Seorang Pensiunan ASN Tikam Mantan Istri dan Anak Tiri, Terancam Lewati Masa Tua Dibalik Jeruji Besi
Baca juga: Sosok Hinsa Siburian, Eks Pasukan Elit Kopassus yang Kini Jabat Kepala BSSN, Peraih Adhi Makayasa
Tapi bagaimanapun, diperlukan upaya bersama, terutama dari pemerintah daerah Majene dan penegak-penegak hukumnya untuk melakukan bimbingan lebih lanjut agar para generasi muda Majene bisa membedakan antara aksi penyampaian aspirasi dan aksi penghormatan atas simbol negara.
Pemerintah daerah bersama dengan lembaga penegak hukum setempat perlu membangun sinergi dengan pihak institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi di Majene dalam merevitalisasi semangat kebangsaan dan mengedepankan kembali signifikansi simbol-simbol kenegaraan kepada generasi muda.
Ini agar ke depan tidak terulang lagi aksi yang sama, yang justru tidak produktif untuk pembangunan mentalitas kebangsaan generasi muda di sana.
Jika tidak demikian, aksi tersebut akan menjadi preseden buruk di kemudian hari yang berpeluang untuk berepetisi di aksi-aksi yang sama di waktu mendatang.
Bahkan lama kelamaan boleh jadi akan dianggap sebagai hal yang biasa, yang kemudian berulang pada gerakan penyampaian aspirasi publik di seluruh Indonesia.
Risikonya, generasi muda akan semakin terjauhkan dari nilai dan pesan yang terkandung pada bendera merah putih di satu sisi dan tercerabut dari sejarah bangsanya sendiri di sisi lain. (*)