Tajuk Tamu Tribun Manado
Penerapan Tiga Prinsip Moral Dasar di Masa Pandemi
Protokol kesehatan yang mewajibkan masyarakat untuk ditaati, tentu harus berprinsip keadilan.
Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Pegiat Filsafat
Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado
PANDEMI Covid-19 telah mengubah berbagai cara berada manusia.
Penyebaran Covid-19 saat ini, yang dikategorikan ‘gelombang kedua’ di Indonesia, menyiratkan berbagai macam pesan yang di satu sisi menakutkan, tapi di sisi lain mengajak manusia semuanya untuk berpijak dari sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu.
Upaya untuk tetap mempertahankan diri, mempertahankan hidup dan mempertahankan kehidupan, agar tetap hidup, selain menjadi harga mutlak, juga perlu diperkaya dengan kehidupan yang etis normatif, yang bisa mengajak setiap manusia ‘berbenah’ dari cara hidup yang tidak disiplin sehingga kerentanan terpapar virus ini, diminimalisasi.
Dengan lain kata, perlulah sebuah etika yang memadai terhadap cara hidup dan berada saat ini. Cara hidup yang dimaksud, penulis fokuskan pada prinsip modal dasar berdasarkan uraian Magnis Suseno dalam Etika Dasar 1996.
Prinsip moral dasar ini, bagi penulis, akan mampu diaplikasikan pada cara hidup ketika manusia berada di situasi pandemi seperti saat ini.
Kendati demikian, dalam kerangka menguraikan ketiga prinsip etis di atas, kita perlu memahami apa itu etika normatif, sebagai pijakan mengenal ketiga prinsip tadi.
Sudarminta mencatat bahwa etika normatif adalah teori moral yang memberikan norma atau tolok ukur penilaian bagi baik atau buruk perilaku, juga benar atau salah tindakan manusia sebagai manusia.
Di sisi yang sama, etika yang dimaksud menetapkan apa yang seharusnya (das sollen) dan bukan hanya apa yang senyatanya (das sein) dilakukan dan diupayakan untuk dihayati agar manusia hidup baik.
Sejalan dengan itu, etika normatif bertolak dari pertanyaan: Manakah tolok ukur terakhir untuk menilai tindakan manusia secara moral?
Maka terkait ketiga prinsip moral dasar yang terdiri dari tiga prinsip itu, seyogyanya dilatari oleh fakta bahwa jauh sebelum hal tersebut ada, etika umum telah mencatat bahwa semua norma moral yang lebih konkret harus diukur.
Misalnya, dari etika hedonisme kita melihat bahwa etika ini tidak memadai karena kalau hanya mencari nikmat saja tidak mungkin diharapkan tercapai kebahagiaan.
Demikian pun, dalam etika pengembangan diri, terlihat bahwa etika ini memuat sesuatu yang hakiki bagi setiap program moral, karena pengembangan diri merupakan tanggung jawab kita.
Tetapi prinsip ini saja tidak cukup. Orang yang hanya memikirkan pengembangan diri justru tidak akan berkembang karena hanya terfokus pada dirinya sendiri.
Ketertutupan ini didobrak oleh utilitarianisme yang punya prinsip tanggung jawab universal sebagai dasarnya, yang menekankan bahwa manusia wajib untuk mempertanggungjawabkan akibat-akibat tindakannya terhadap semua orang yang terkena olehnya.