Catatan J Osdar
Sulut Tidak Lupakan Seruan Bung Karno: Jasmerah
Di sini selain mengetengahkan sedikit soal Diponegoro saya juga mengkaitkan hubungan imajiner antara Peter Carey dengan Sang Pangeran.
Peter Carey dan Sam Ratulangi
Peter Carey, sejarahwan kelas internasional untuk pertamakali masuk Indonesia bulan Juli 1970 dengan kapal barang bernama “Sam Ratulangie”.
Perjalanan laut itu dimulai dari New York, Amerika, lewat perairan Afrika, Arab Saudi, India dan sampai di Palembang (masuk Sungai Musi).
Ketika itu, Peter Carey meninggalkan studi untuk master bidang sejarah Asia Tenggara (Indonesia) di Universitas Cornel, Amerika Serikat, yang belum selesai.
Dalam perjalanan laut selama satu bulan lebih ini usus buntu Peter Carey pecah sehingga harus dirawat di rumah sakit Palembang dan kemudian di Singapura, kemudian pulang ke Inggris.
Setahun kemudian, menjelang akhir tahun 1971 ia ke Jakarta dan Yogyakarta melanjutkan penelitian tentang sejarah Indonesia (terutama sejarah perang Diponegoro).
Dalam acara diskusi webinar yang diselenggarakan oleh Unsrat Rabu, 16 Juni 2021 lalu, peserta banyak bertanya tentang keterlibatan pasukan dari Minahasa ikut memerangi Diponegoro.
Menanggapi hal ini, Peter Carey, antara lain mengatakan sejarah jangan dilihat hitam putih dan sejarahwan jangan bertindak sebagai hakim.
Anggota keluarga atau keturunan Diponegoro, Ki Roni Sudewo yang mengikuti kuliah umum ini juga mmengetengahkan, sejarah jangan disikapi dengan menghakimi atau menyudutkan orang-orang dari suku tertentu di Nusantara ini.
Dikatakan, perang Diponegoro atau Perang Jawa ini terjadi hampir 200 tahun lalu sebelum ada negara Kesatuan RI.
Roni Sudewo juga mengatakan, bila ada orang-orang dari suku tertentu yang direkrut kolonial Belanda saat ini jangan dilihat secara negatif.
Perlu dilihat secara positif, katanya. Karena mereka ini bisa menjadi tokoh-tokoh TNI yang andal.
Dalam buku-buku tentang Diponegoro, Peter Carey juga memperlihatkan banyak orang-orang dari berbagai suku yang berpihak ke tentara kolonial, termasuk Raden Adipati Cokronegoro, bupati pertama Purworejo (Jawa Tengah).
Cokronegoro adalah rekan seperguruan Diponegoro di Psantren asuhan Kiai Taptojani di Pesantren Mlangi, Sleman, Yogyakarta.
Cokronegoro adalah wakil komandan hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) dari Kraton Surakarta yang ikut memerangi Diponegoro.
Cokronegoro juga membuat kisah perang Jawa yang dinamakan Babad Kedung Kebo. Dalam tulisannya ini, Cokronegoro banyak mengkritisi Diponegoro.
Apa pun dan bagaimana pun yang terjadi dalam sejarah di Indonesia, perlu kita menghayati seruan Bung Karno tentang Jasmerah (jangan sekali-kali tinggalkan sejarah).
Karena, kata Cicero (filsuf, politisi, ahli hukum, ahli pidato, pengcara jaman Romawi kuno) yang mengatakan, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan.
Menjelang akhir diskusi 3 jam kuliah umum untuk Unsrat Menado, Rabu 16 Juni 2021 itu, salah soerang peserta yang menyatakan dirinya sebagai orang yang dikenal sebagai “banyak tahu tentang sejarah Minahasa”.
Ia banyak mengemukakan ada 10 orang Minahasa kini telah diangkat jadi pahlawan nasional RI.
Peter Carey pun juga berpesan agar sejarah Minahasa terus digali dengan membuka taman-taman bacaan di Zonder, Tondano dan tempat lainnya di Sulut.
“Kumpulkan bahan-bahan yang betul bersejarah bukan data data omong kosong,” kata Peter Carey.
Dan bagaimana pun juga , kota Manado telah menyumbangkan tempat bagi Pangeran Diponegoro untuk menuliskan kisah hidupnya, Babad Diponegoro, yang kini akan terus dikenang oleh dunia.
Diponegoro, berada di benteng (fort) Nieuw Amsterdam Manado bulan Juni 1830 sampai Juni 1833 (tiga tahun) sebelum dipindah ke Makassar sampai wafatnya 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam (Makassar).
Pangeran menuliskan kisah dirinya di Manado (Babad Diponegoro versi Manado) dari 20 Mei 1831 sampai 2 Frebuari 1832.
Karya sastra Sang Pangeran ini dibuka dengan kalimat puitis seperti ini, ”Aku bentangkan perasaan hatiku, dalam irama Mijil (kepedihan), diciptakan untuk menghibur hasrat hati, dibuat di Kota Manado, tanpa disaksikan siapa pun, kecuali oleh rahmat Hyang Agung.”
Peter Carey dalam bukunya, “Takdir - Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1855), juga menuliskan kisah asmara Sang Pangeran yang kandas ketika melamar perempuan warga Muslim di Manado ditolak oleh orang tua perempuan itu.
Selain itu Peter Carey juga mencatat, kalau kita sekarang membaca babad (cerita sejarah) otobiografinya (termasuk yang ditulis di Manado), terasa seolah-olah Sang Pangeran sedang duduk dan bicara langsung dengan pembacanya. Gaya ekspresinya sedemikian bersemangat dan lugas.
“Ini juga mengejutkan opsir Jerman pengawalnya, Letnan Dua Justus Heinrich Knoerle (1796 - 1833), ketika bercakap dengan Sang Pangeran dalam perjalanan laut dari Batavia ke tempat pengasingan di Manado ( dari 3 Mei sampai 12 Juni 1830),” demikian tulis Peter Carey.
Knoerle adalah ajudan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mendapat tugas menemani Pangeran Diponegoro ke Manado.
Knoerle membuat catatan harian tertulis tentang perjalanan itu. Banyak hal menarik dalam catatan Knoerle ini dan itu juga ditulis oleh Pangeran dalam babadnya yang ditulis di Manado selama sembila bulan.
Hal menarik lain ada catatan dari Residen Manado Pietermaat (1790 - 1848 dan menjabat 1827 - 1831).
Ia menuliskan, percakapan yang digemari oleh Pangeran tentang perempuan.
Sedangkan Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock (1779 - 1845), tokoh yang berunding dan kemudian menangkap Diponegoro di Magelang, 9 Maret 1830, antara lain mencatat, Diponegoro seperti terbuat dari besi.
Peter Carey mencatat, sulit memisahkan Diponegoro sebagai manusia nyata.
Ia pun menulit banyak catatan sejarah yang mengatakan Diponegoro bisa terbang, bisa menghilang, menurunkan hujan dan kebal perluru.
Sementara pihak Belanda mengatakan, kemungkinan dalam perang Diponegoro mengenakan pakaian besi.
Diponegro juga dicatat sejarah dari orang Belanda dan Indonesia sebagai orang yang punya kekuatan mempengaruhi orang lain.
Peter Carey sendiri ketika pertamakali melihat lukisan sketsa Diponegoro di Universitas Cornel, Upper State New York, Amerika Serikat antara lain mengatakan.
“Saya tidak yakin benar apa yang membuat saya tertarik pada sketsa tersebut, namun itu mungkin karena sifat misterius potret Diponegoro....,” kata Peter yang kini tinggal di Jakarta.
Maka bacalah buku-bukunya tentang Diponegoro, siapa tahu memberi inspirasi magis bagi para penulis sejarah Minahasa.
Saya punya kesan para peserta kuliah umum Peter Carey untuk Unsrat Manado, Rabu 16 Juni 2021 lalu, banyak yang belum membaca buku-buku Peter Carey. Sayang. (*)