Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Catatan J Osdar

Sulut Tidak Lupakan Seruan Bung Karno: Jasmerah

Di sini selain mengetengahkan sedikit soal Diponegoro saya juga mengkaitkan hubungan imajiner antara Peter Carey dengan Sang Pangeran.

handover
Lukisan Pangeran Diponegoro 

Babad Diponegoro versi Manado

Oleh: J Osdar
Wartawan Istana Kepresidenan 1987 -2016. Kini bermukim di Kota Manado.

Universitas Sam Ratulangi Manado, mewakili masyarakat Sulawesi Utara, menunjukan sikap antusias melaksanakan seruan Presiden RI pertama Soekarno (Bung Karno) agar bangsa ini jangan sampai meninggalkan sejarah.

Kalimat pembuka artikel ini merupakan kesimpulan saya pribadi setelah mendengar pernyataan dari doktor sejarah dari Trinity College, Oxford, Inggris, Peter Carey.

Menurut saya (penulis artikel ini), Unsrat sangat beruntung bisa mengadakan kuliah umum dengan nara sumber sejarahwan terkenal ini.

Maka di sini selain mengetengahkan sedikit soal Diponegoro saya juga mengkaitkan hubungan imajiner antara Peter Carey dengan Sang Pangeran.

Dalam wawancara dengan Leonard Blusse, profesor sejarah di Leiden, Belanda, bulan Desember 2015 lalu, Peter Carey antara lain mengatakan hubungan pribadinya dengan Sang Pangeran yang hidup 200 tahun lalu itu.

“Dalam kenyataan saya dapat mengatakan, saya telah hidup di bawah bayangan Sang Pangeran hampir selama saya tumbuh dewasa,” ujar Peter yang kini tinggal di Jakarta.

Foto ini adalah bekas wilayah Benteng Nieuw Amaterdam di Kota Manado. Dulu tempat tinggal Pangeran Diponegoro selama berada di Manado (1830 - 1833). Wilayah itu ada saat ini ada di antara Pasar Swalayan Jumbo dan Taman Kesatuan Bangsa . Di tempat itu Diponegoro menulis riwayat hidupnya yang diakui PBB sebagai karya sastra bertaraf internasional. Benteng itu hancur karena dibom angkatan udara Amerika Serikat 7 Desember 1944
Foto ini adalah bekas wilayah Benteng Nieuw Amaterdam di Kota Manado. Dulu tempat tinggal Pangeran Diponegoro selama berada di Manado (1830 - 1833). Wilayah itu ada saat ini ada di antara Pasar Swalayan Jumbo dan Taman Kesatuan Bangsa . Di tempat itu Diponegoro menulis riwayat hidupnya yang diakui PBB sebagai karya sastra bertaraf internasional. Benteng itu hancur karena dibom angkatan udara Amerika Serikat 7 Desember 1944 (Dokumen J Osdar)

Dalam wawancara itu Peter juga mengatakan bisa selesainya penulisan tesisnya tentang Diponegoro yang kemudian diterbitkan jadi buku itu sampai sekarang masih jadi bagian 'misteri' hidupnya.

Penulis legendaris tentang buku Pangeran Diponegoro (1785 - 1855) ini mengatakan kekagumannya kepada antuiasme para peserta kuliah umumnya yang diselenggarakan secara virtual oleh Universitas Sam Ratulangi Manado, Rabu 16 Juni 2021.

Kuliah umum tersebut membahas tentang Pengasingan Diponegoro di Sulawesi dan Peran Hulptroepen (pasukan Belanda dari orang-orang pribumi) Minahasa dalam Perang Jawa 1825 - 1830).

Acara kuliah umum selama tiga jam ini diikuti sekitar 200 orang yang cukup aktif mengajukan pertanyaan dan pendapat.

“Tanggapan yang sangat bagus dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya cukup cerdas, seperti Pak Bode Tolumewo (salah satu dosen sejarah Unsrat),” ujar Peter yang telah lebih dari 40 tahun mengadakan penelitian sejarah Perang Diponegoro dan menulis banyak buku tentang pahlawan nasional yang legendaris itu.

Babad Diponegoro versi Manado

Seperti diketahui setelah Perang Diponegoro atau Perang Jawa berakhir, Pangeran Diponegoro diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Benteng Nieuw Amsterdam Manado (1830 - 1833).

Kemudian Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam Makassar (1833 sampai wafatnya 8 Januari 1855).

Salah satu literatur yang digunakan oleh Peter Carey untuk membuat tesis doktoral dan kemudian menerbitkan sejumlah buku sejarah tentang Pangeran Diponegoro adalah Babad Diponegoro (versi Manado).

Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro selama masa pengasingannya tiga tahun di Kota Manado (dari 1830 - 1833).

Babad Diponegoro versi Manado itulah yang kini menjadi karya sastra bertaraf internasional.

Karya itu pada 18 Juni 2013 diterima oleh Komite Penasihat Internasional UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk dimasukan dalam Daftar Ingatan Kolektif Dunia (Internasional Register of the Memory of the World).

“Namun di Indonesia sendiri pengakuan internasional ini tidak bergaung dan naskah tersebut masih tetap tinggal sebagai harta karun nasional yang tersembunyi dan terlupakan,” demikian kata Peter Carey dalam buku “Takdir Riwayat Pengeran Diponegoro (1785 - 1855)” yang diterbitkan tahun 2015.

Menghadapi Perang Jawa itu, pemerintah kolonial Belanda dibawah Gubernur Jenderal Johannes van den Boch (1780 - 1844) dan Panglima Tertinggi Tentara Belanda Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock (1779 - 1845), antara lain mengumumkan hadiah sebesar 20.000 Gulden (sekitar dua juta dollar Amerika Serikat saat ini) bagi siapa yang bisa membawa kepala Pangeran Diponegoro.

Selain itu kolonial Belanda juga mendirikan 258 benteng di wilayah pertempuran di Jawa Tengah.

Benteng terbesar berada di Gombong yang kemudian di awal tahun 1940-an menjadi tempat pendidikan militer.

Orang Indonesia yang didik di benteng itu adalah Soeharto yang kemudian jadi presiden RI 1967 - 1998.

Dalam pemerintahan Soeharto, pada 10 November 1975, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia.

Sementara itu sejarahwan Australia, Merle Ricklefs tahun 2015 mengatakan Pangeran Diponegoro adalah salah seorang tokoh Indonesia terbesar pada abad ke-19 dan Dr Peter Carey merupakan ahli sejarah yang penelitiannya dan pengetahuannya mengenai Pangeran Diponegoro melampaui sejarahwan lainnya.

Perang Diponegoro ini berakhir (8 Maret 1830), setelah menelan korban jiwa 200 000 (duaratus ribu) orang.

Untuk mencapai kemenangan perang ini, Belanda kehilangan 8000 serdadu bangsa Eropa dan 7000 serdadu bantuan lokal.

Selain itu Belanda juga menghabiskan ongkos sebesar 25 juta gulden atau setaraf 300 juta dollar AS saat ini.

Dalam pengantar bukunya berjudul “Takdir - Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1855), Peter Carey, antara lain mengingatkan apa yang pernah diserukan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1966.

“Istilah Jasmerah atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah yang diungkapkan sendiri presiden pertama Indonesia (1901 - 1970 dan menjabat tahun 1945 sampai 1967) dalam pidato 17 Agustus yang terakhir 1966, kini terdengar lebih benar dari sebelumnya,” demikian kata Peter Carey.

Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, tulis Peter Carey dalam pengantar bukunya, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang menggelobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka pergi.

“Adalah tugas generasi generasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini terjadi,” kata Peter Carey.

Peter Carey nampak gembira dengan antusiasme peserta kuliah umumnya di Unsrat, Manado, Sulawesi Utara.

Perlu dicatat tentang seruan Bung Karno tentang jangan melupakan sejarah.

Manado selain punya situs sejarah sejarah Diponegoro juga punya jalan dengan nama Diponegoro serta memiliki jembatan dan patung Soekarno.

Perlu dicatat pula, kantor resmi kedua Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey sebagai Bendahara Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan juga terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Selain tempat bersejarah Diponegoro, Minahasa, Sulawesi Utara juga punya tempat pemakaman dua tokoh besar melawan kolonial Belanda yakni Kiai Modjo dan Tuanku Imam Bonjol.

Tempat-tempat bersejarah ini adalah bagian dari modal penting pariwisata.

Negara-negara pariwisata dunia, sangat memelihara dan menjual situs-situs sejarahnya. Kini Sulawesi Utara juga sedang mengejar ekonomi pariwisata bukan ?

Saya jadi ingat ketika saya mengunjungi August Parengkuan ketika beliau jadi Duta Besar RI di Italia (2012 - 2017).

Ketika memasuki rumah dinasnya di Roma, di tengah jalan masuk pintu gerbang masuk ada tiang kayu dan batu. Sehingga mobil yang dikemudikan oleh mantan wartawan Kompas itu harus hati-hati.

Ketika saya tanya kenapa tiang itu tidak dibuang saja, August mengatakan “tiang itu adalah bagian dari situs sejarah Italia yang dilindungi undang-undang”.

Betapa Italia dan negara-negara besar di dunia sangat menghormati benda-benda bersejarah, sekecil apa pun.

Peter Carey dan Sam Ratulangi

Peter Carey, sejarahwan kelas internasional untuk pertamakali masuk Indonesia bulan Juli 1970 dengan kapal barang bernama “Sam Ratulangie”.

Perjalanan laut itu dimulai dari New York, Amerika, lewat perairan Afrika, Arab Saudi, India dan sampai di Palembang (masuk Sungai Musi).

Ketika itu, Peter Carey meninggalkan studi untuk master bidang sejarah Asia Tenggara (Indonesia) di Universitas Cornel, Amerika Serikat, yang belum selesai.

Dalam perjalanan laut selama satu bulan lebih ini usus buntu Peter Carey pecah sehingga harus dirawat di rumah sakit Palembang dan kemudian di Singapura, kemudian pulang ke Inggris.

Setahun kemudian, menjelang akhir tahun 1971 ia ke Jakarta dan Yogyakarta melanjutkan penelitian tentang sejarah Indonesia (terutama sejarah perang Diponegoro).

Dalam acara diskusi webinar yang diselenggarakan oleh Unsrat Rabu, 16 Juni 2021 lalu, peserta banyak bertanya tentang keterlibatan pasukan dari Minahasa ikut memerangi Diponegoro.

Menanggapi hal ini, Peter Carey, antara lain mengatakan sejarah jangan dilihat hitam putih dan sejarahwan jangan bertindak sebagai hakim.

Anggota keluarga atau keturunan Diponegoro, Ki Roni Sudewo yang mengikuti kuliah umum ini juga mmengetengahkan, sejarah jangan disikapi dengan menghakimi atau menyudutkan orang-orang dari suku tertentu di Nusantara ini.

Dikatakan, perang Diponegoro atau Perang Jawa ini terjadi hampir 200 tahun lalu sebelum ada negara Kesatuan RI.

Roni Sudewo juga mengatakan, bila ada orang-orang dari suku tertentu yang direkrut kolonial Belanda saat ini jangan dilihat secara negatif.

Perlu dilihat secara positif, katanya. Karena mereka ini bisa menjadi tokoh-tokoh TNI yang andal.

Dalam buku-buku tentang Diponegoro, Peter Carey juga memperlihatkan banyak orang-orang dari berbagai suku yang berpihak ke tentara kolonial, termasuk Raden Adipati Cokronegoro, bupati pertama Purworejo (Jawa Tengah).

Cokronegoro adalah rekan seperguruan Diponegoro di Psantren asuhan Kiai Taptojani di Pesantren Mlangi, Sleman, Yogyakarta.

Cokronegoro adalah wakil komandan hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) dari Kraton Surakarta yang ikut memerangi Diponegoro.

Cokronegoro juga membuat kisah perang Jawa yang dinamakan Babad Kedung Kebo. Dalam tulisannya ini, Cokronegoro banyak mengkritisi Diponegoro.

Apa pun dan bagaimana pun yang terjadi dalam sejarah di Indonesia, perlu kita menghayati seruan Bung Karno tentang Jasmerah (jangan sekali-kali tinggalkan sejarah).

Karena, kata Cicero (filsuf, politisi, ahli hukum, ahli pidato, pengcara jaman Romawi kuno) yang mengatakan, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan.

Menjelang akhir diskusi 3 jam kuliah umum untuk Unsrat Menado, Rabu 16 Juni 2021 itu, salah soerang peserta yang menyatakan dirinya sebagai orang yang dikenal sebagai “banyak tahu tentang sejarah Minahasa”.

Ia banyak mengemukakan ada 10 orang Minahasa kini telah diangkat jadi pahlawan nasional RI.

Peter Carey pun juga berpesan agar sejarah Minahasa terus digali dengan membuka taman-taman bacaan di Zonder, Tondano dan tempat lainnya di Sulut.

“Kumpulkan bahan-bahan yang betul bersejarah bukan data data omong kosong,” kata Peter Carey.

Dan bagaimana pun juga , kota Manado telah menyumbangkan tempat bagi Pangeran Diponegoro untuk menuliskan kisah hidupnya, Babad Diponegoro, yang kini akan terus dikenang oleh dunia.

Diponegoro, berada di benteng (fort) Nieuw Amsterdam Manado bulan Juni 1830 sampai Juni 1833 (tiga tahun) sebelum dipindah ke Makassar sampai wafatnya 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam (Makassar).

Pangeran menuliskan kisah dirinya di Manado (Babad Diponegoro versi Manado) dari 20 Mei 1831 sampai 2 Frebuari 1832.

Karya sastra Sang Pangeran ini dibuka dengan kalimat puitis seperti ini, ”Aku bentangkan perasaan hatiku, dalam irama Mijil (kepedihan), diciptakan untuk menghibur hasrat hati, dibuat di Kota Manado, tanpa disaksikan siapa pun, kecuali oleh rahmat Hyang Agung.”

Peter Carey dalam bukunya, “Takdir - Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1855), juga menuliskan kisah asmara Sang Pangeran yang kandas ketika melamar perempuan warga Muslim di Manado ditolak oleh orang tua perempuan itu.

Selain itu Peter Carey juga mencatat, kalau kita sekarang membaca babad (cerita sejarah) otobiografinya (termasuk yang ditulis di Manado), terasa seolah-olah Sang Pangeran sedang duduk dan bicara langsung dengan pembacanya. Gaya ekspresinya sedemikian bersemangat dan lugas.

“Ini juga mengejutkan opsir Jerman pengawalnya, Letnan Dua Justus Heinrich Knoerle (1796 - 1833), ketika bercakap dengan Sang Pangeran dalam perjalanan laut dari Batavia ke tempat pengasingan di Manado ( dari 3 Mei sampai 12 Juni 1830),” demikian tulis Peter Carey.

Knoerle adalah ajudan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mendapat tugas menemani Pangeran Diponegoro ke Manado.

Knoerle membuat catatan harian tertulis tentang perjalanan itu. Banyak hal menarik dalam catatan Knoerle ini dan itu juga ditulis oleh Pangeran dalam babadnya yang ditulis di Manado selama sembila bulan.

Hal menarik lain ada catatan dari Residen Manado Pietermaat (1790 - 1848 dan menjabat 1827 - 1831).

Ia menuliskan, percakapan yang digemari oleh Pangeran tentang perempuan.

Sedangkan Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock (1779 - 1845), tokoh yang berunding dan kemudian menangkap Diponegoro di Magelang, 9 Maret 1830, antara lain mencatat, Diponegoro seperti terbuat dari besi.

Peter Carey mencatat, sulit memisahkan Diponegoro sebagai manusia nyata.

Ia pun menulit banyak catatan sejarah yang mengatakan Diponegoro bisa terbang, bisa menghilang, menurunkan hujan dan kebal perluru.

Sementara pihak Belanda mengatakan, kemungkinan dalam perang Diponegoro mengenakan pakaian besi.

Diponegro juga dicatat sejarah dari orang Belanda dan Indonesia sebagai orang yang punya kekuatan mempengaruhi orang lain.

Peter Carey sendiri ketika pertamakali melihat lukisan sketsa Diponegoro di Universitas Cornel, Upper State New York, Amerika Serikat antara lain mengatakan.

“Saya tidak yakin benar apa yang membuat saya tertarik pada sketsa tersebut, namun itu mungkin karena sifat misterius potret Diponegoro....,” kata Peter yang kini tinggal di Jakarta.

Maka bacalah buku-bukunya tentang Diponegoro, siapa tahu memberi inspirasi magis bagi para penulis sejarah Minahasa.

Saya punya kesan para peserta kuliah umum Peter Carey untuk Unsrat Manado, Rabu 16 Juni 2021 lalu, banyak yang belum membaca buku-buku Peter Carey. Sayang. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved