Catatan J Osdar
Sulut Tidak Lupakan Seruan Bung Karno: Jasmerah
Di sini selain mengetengahkan sedikit soal Diponegoro saya juga mengkaitkan hubungan imajiner antara Peter Carey dengan Sang Pangeran.
Kemudian Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam Makassar (1833 sampai wafatnya 8 Januari 1855).
Salah satu literatur yang digunakan oleh Peter Carey untuk membuat tesis doktoral dan kemudian menerbitkan sejumlah buku sejarah tentang Pangeran Diponegoro adalah Babad Diponegoro (versi Manado).
Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro selama masa pengasingannya tiga tahun di Kota Manado (dari 1830 - 1833).
Babad Diponegoro versi Manado itulah yang kini menjadi karya sastra bertaraf internasional.
Karya itu pada 18 Juni 2013 diterima oleh Komite Penasihat Internasional UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk dimasukan dalam Daftar Ingatan Kolektif Dunia (Internasional Register of the Memory of the World).
“Namun di Indonesia sendiri pengakuan internasional ini tidak bergaung dan naskah tersebut masih tetap tinggal sebagai harta karun nasional yang tersembunyi dan terlupakan,” demikian kata Peter Carey dalam buku “Takdir Riwayat Pengeran Diponegoro (1785 - 1855)” yang diterbitkan tahun 2015.
Menghadapi Perang Jawa itu, pemerintah kolonial Belanda dibawah Gubernur Jenderal Johannes van den Boch (1780 - 1844) dan Panglima Tertinggi Tentara Belanda Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock (1779 - 1845), antara lain mengumumkan hadiah sebesar 20.000 Gulden (sekitar dua juta dollar Amerika Serikat saat ini) bagi siapa yang bisa membawa kepala Pangeran Diponegoro.
Selain itu kolonial Belanda juga mendirikan 258 benteng di wilayah pertempuran di Jawa Tengah.
Benteng terbesar berada di Gombong yang kemudian di awal tahun 1940-an menjadi tempat pendidikan militer.
Orang Indonesia yang didik di benteng itu adalah Soeharto yang kemudian jadi presiden RI 1967 - 1998.
Dalam pemerintahan Soeharto, pada 10 November 1975, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia.
Sementara itu sejarahwan Australia, Merle Ricklefs tahun 2015 mengatakan Pangeran Diponegoro adalah salah seorang tokoh Indonesia terbesar pada abad ke-19 dan Dr Peter Carey merupakan ahli sejarah yang penelitiannya dan pengetahuannya mengenai Pangeran Diponegoro melampaui sejarahwan lainnya.
Perang Diponegoro ini berakhir (8 Maret 1830), setelah menelan korban jiwa 200 000 (duaratus ribu) orang.
Untuk mencapai kemenangan perang ini, Belanda kehilangan 8000 serdadu bangsa Eropa dan 7000 serdadu bantuan lokal.
Selain itu Belanda juga menghabiskan ongkos sebesar 25 juta gulden atau setaraf 300 juta dollar AS saat ini.