Tajuk Tamu
Penanggulangan Terorisme Melalui Media Sosial di Masa Pandemi Covid-19
Jika media tradisional seperti televisi, radio atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga yang banyak, maka lain halnya dengan media sosial.
Penulis: Isvara Savitri | Editor: Rizali Posumah
Situasi ini dimanfaatkan betul oleh anggota teroris untuk melancarkan aksinya.
Kita tentu tidak bisa menyebut peristiwa teror di Kantor Polsek Daha Selatan itu sebagai kelalaian atau kelengahan aparat keamanan.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa situasi pandemi ini telah mengalihkan perhatian kita pada isu radikalisme dan terorisme.
Meski demikian, patut digarisbawahi bahwa kekuatan mereka di masa pandemi ini tampaknya mulai melemah.
Terlihat dari pola serangan yang hanya mengandalkan senjata tajam, alih-alih bom sebagaimana menjadi senjata andalan kelompok teroris radikal.
Meski demikian, terorisme adalah ancaman nyata yang harus diwaspadai.
Apa pun strategi dan senjata yang digunakan untuk melancarkan aksinya, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang layak dijadikan sebagai musuh bersama.
Di saat yang sama, masyarakat juga perlu melawan narasi negatif dan provokatif yang disebar para eksponen teroris radikal atau simpatisannya di media sosial.
Narasi kaum radikal teroris harus ditandingi dengan narasi yang mampu menyuntikkan rasa optimis dan sikap positif.
Sinergi pemerintah dan masyarakat ini sangat kita butuhkan untuk menutup ruang gerak jaringan teroris, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini.
Terorisme cenderung menggunakan propaganda dan publikasi kekerasan bersenjata, bom dan aksi teror yang mereka lalukan.
Pemerintah Indonesia tak menyadari bahwa publikasi tindakan terorisme yang masif dan penyiaran langsung oleh media massa dan elektronik, serta media online dewasa ini telah memberikan andil terhadap tumbuhnya terorisme, dan sebagai media konsolidasi sel-sel terorisme dan radikalisme.
Apalagi aktor yang dipublikasi oleh media massa adalah misalnya badan Kepolisian dan khususnya Densus 88 AT Polri, yang tentu saja langsung atau tidak telah membentuk common enemy oleh kaum radikal/teroris untuk menjadikan aparat negara sebagai near enemy.
Reputasi Detasemen Khusus/Densus 88 sudah santer terdengar di dunia internasional.
Dibentuk tahun 2003 setelah peristiwa Bom Bali, tak terhitung berapa teroris yang sudah diamankan pasukan elit polisi berlogo burung hantu ini.