Tajuk Tamu Tribun Manado
Manguni: Hewan Pilihan Dewi Minerva di Romawi Kuno dan Ko'ko ni Mamarimbing di Minahasa
Burung pilihan Dewi Minerva ini di Minahasa disebut Manguni, Ko'ko ni Mamarimbing! Artinya "hewan peliharaan" dari Tonaas Mamarimbing.
Oleh:
Stefi Rengkuan
Wakil Bendahara Perhimpunan Intelektual Kawanua Global (PIKG)
Anggota Presidium Ikatan Sarjana Katolik (Iska)
Bendahara Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP)
DR Valen Lumowa dalam beranda Opini (MP, 21/9/2020) menulis artikel "Elegi Komunisme di Tengah Pandemi", yang mengulas dengan kritis tawaran pemikiran filsuf neo-Marxisme dan kritikus budaya asal Slovenia, Slavoj Žižek, dalam buku terbarunya: Pandemic! Covid-19 Shakes the World.
Bukan soal kebaruan terbit buku itu yang dikritik Valen, tapi isi buku itu sendiri yang menawarkan sebuah komunisme baru di tengah pandemi dianggap terlalu dini dan lemah. Walaupun dia seorang filsuf yang kreatif dan ada banyak tulisannya terkait pandemi Covid-19, ini memberi wawasan segar aktual.
Menurut Valen Lumowa sebagai doktor filsafat secara linear strata 123 yang aktif menuangkan gagasan pikirannya di banyak media cetak maupun online (karena itu terjaring dan diklaim sebagai tunas baru dari para pemikir filsafati tou Minahasa oleh tokoh Kawanua senior, Max F Wilar, penggemar tulisan sosial dan filsafat, sejak studi kependetaan di STFT Jakarta), lewat buku terbarunya itu, Žižek berhasil menguak ironi yang tersembunyi dalam selubung pandemi global ini. Namun, proses identifikasi ini sendiri berakhir ironi.
Valen melanjutkan bahwa penemuan yang tak terelakkan dalam tulisan filsuf ini merujuk pada gema komunisme “baru”. Žižek mendesaknya sebagai salah satu alternatif jawaban terhadap rekonstruksi sosial di masa pandemi. Seiring dengan menguapnya jejak komunisme “lama”, sebagai lawan tanding kapitalisme dan demokrasi liberal di abad ke-20, Žižek mengusulkan format baru komunisme. Gerakan konseptual ini, menurut Daniel J Gunkel, mengadopsi proses dekonstruksi.
Demikian sekilas pemaparan Lumowa dengan merujuk pada beberapa filsuf yang juga mengkritik Žižek. Filsuf ini yang pertama saya tahu infonya dari tulisan budayawan intelektual Reiner Omyot Ointoe, yang menayangkan (posting) tulisannya di grup Kawanua Informal Meeting, pada masa Paskah, masih sekitar euforia tafsir atas pandemi Covid-19 ini, dan beberapa hari lalu ada yang mem-posting di grup telegram IKAL STFSP gambar cover depan buku karyanya: Homodemic. Covid-19 vs Budaya, menanggapi tulisan Valen.
Silakan membaca isi penalaran lengkap dalam artikel yangg dimuat di Manado Post tersebut. Saya tertarik pada rujukan kutipan pada akhir argumen kritis filsuf Kawanua ini yang mengutip penegasan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) tentang hakikat filsafat. Baginya, filsafat selalu “terlambat” sebagai pelayan bagi dunia demi menghadirkan instruksi yang tepat dalam menciptakan “tatanan yang seharusnya”. Sebagai interpretasi tentang dunia, filsafat muncul ketika sebuah fenomena telah mencapai kepenuhan aktualisasinya. Deskripsi elegen Hegel tentang kerja filsafat: “The owl of Minerva begins its flight only with the onset of dusk (Burung Sang Dewi Minerva terbang ketika senja hadir).
Saya teringat tiga tahun lalu dalam sebuah seminar dan bedah buku di Kalbis Institute Jakarta, pertama kali bertemu langsung dengan Dr Benni E Matindas, yang kemudian saya tahu dia adalah seorang budayawan intelektual Kawanua yang mendalami pemikiran para filsuf dunia dan karena itu tulisan-tulisannya begitu mendasar dengan memberikan penalaran kritis dan menawarkan paradigma serta strategi perubahan tertentu (misalnya lihat buku best seller Negara Sebenarnya yang tebal dan monumental karya ciptanya itu menunjukkan keluasan dan kedalaman referensi pemikiran yang dilampauinya sendiri dan dengan berorientasi pada solusi destruksi sekaligus konstruksi strategis, baik secara teoretis maupun praktis).
Dalam satu bagian pemaparannya, Matindas memberi contoh local genius orang Minahasa terkait burung sang Dewi Minerva yang dipakai oleh sang filsuf besar itu. Burung pilihan Dewi Minerva ini di Minahasa disebut MANGUNI, Ko'ko ni Mamarimbing! Artinya "hewan peliharaan" dari Mamarimbing, tonaas yang sangat kesohor dengan fenomena metafisis, yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dan bagaimana menghindar atau mewujudkannya. Dalam cerita Zazanian Ni Karema, Menurut Weliam H Boseke, Mamarimbing itu tak lain dari Zhuge Liang dalam cerita Sam Kok, andalan Liu Bei, yang ahli strategi perang dan terkenal karena kecerdasan dan kebijaksanaannya. Dia adalah satu dari lima petinggi dinasti Shu Han yang disebut Ng ang yi (Ngangi = jadi fam Minahasa). Dalam ritual adat, Tonaas Wailan akan berkata: " ... Manguni rondor koko ni Mamarimbing...", dan bila dicarikan pandanannya dalam Han melalui Pingyin (latinisasi Han), maka akan diperoleh arti "Bernyanyilah merdu hai burung peliharaan Mamarimbing".
Benni berkisah, pada suatu waktu budayawan senior Jessy Wenas mengontak dia dan dengan penuh antusias mengabarkan, "Ben, itu kita so dapa dan lia di National Geographic, burung Manguni itu ternyata sudah lebih dulu dipakai di Tiongkok kuno sebagai hewan dewata tertinggi."
Dalam suatu kesempatan lain, penulis buku Leluhur Minahasa Penguasa Dinasti Han -- yang bukunya dibedah di Kalbis Institute itu yang dihadiri para tokoh Kawanua (Minahasa perantauan) dan masyarakat dari pelbagai kalangan intelektual dan profesional, juga menghadirkan langsung Prof Perry Rumengan sebagai promotor temuan ini secara publik dan akademis -- memberikan pada saya tulisannya tentang Manguni. Isi gagasan tulisan Weliam H Boseke itu kemudian saya pakai pertama kali untuk membingkai sebuah masalah aktual di tanah leluhur, saat viral kisah ironis relokasi secara sembrono kompleks kuburan kuno yakni situs purbakala berupa waruga (kubur batu kuno) di Desa Sawangan dua tahun lalu. Kebetulan sekali sudah banyak budayawan dan intelektual dan masyarakat pemerhati budaya sudah memberikan tanggapan dan tuntutan kritisnya. Salah satunya tokoh Kawanua yang pertama saya kenal dalam grup Kawanua Informal Meeting itu, Max F Wilar, menayangkan tulisan satir di media sosial sebagai bentuk gugatan dan panggilan berbudaya dengan menyebut-nyebut kalau-kalau ada bunyi tanda dari burung Manguni itu terkait malapetaka budaya tersebut.
Manguni adalah simbol hewan yang diistimewakan oleh orang Minahasa sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Mengapa demikian? Dalam paparan lanjutan, Boseke menjelaskan sebagai berikut: nama "Manguni" berasal dari bahasa Han. Dalam teks literatur bahasa Han, burung manguni dihubungkan dengan keadaan bright = cerah atau cemerlang. Kata WANG YUN = MA WANG YUN NE, artinya: sudilah memberi tanda cemerlang atau cerah. Dalam bahasa Minahasa MAWANGUNE = MANGUNE = MANGUNI.
Ketika pemimpin upacara/ritus adat Minahasa Walian (Hua li an) memanggil Manguni, burung itu akan menanggapi panggilan tersebut dengan berbunyi dari kejauhan, lalu Walian akan memintanya mendekat seraya berseru: "Mangune". Ketika burung itu mendekat dan menjawab dengan berbunyi merdu 9 , Walian berseru: "Siou pa siow wan". berasal dari bahasa Han "jiu pa jiu wan" = 9 890 000 = sebagai ungkapan derajat tertinggi leluhur raja (Xian Wang = Sien Bong/pung).
Ada istilah lain untuk menyebut burung Manguni ini berdasarkan bunyinya. Totosik. Ternyata bunyi ini berasal dari bahasa Han, Ma tou ying si = Ma to tou ing sik. Menjadi "Ma to to sik" dalam bahasa Minahasa, yang berarti "burung Manguni berdesis" dalam bahasa Han.
Dengan cara ini, burung owl (Inggris) memberi peringatan akan adanya bahaya. Bahasa Han terkini Mandarin memberi nama owl atau burung hantu ini dari aktivitas memberi tanda negatif, yaitu "mao tou ying siik".
Sedangkan Minahasa Han memberi nama owl ini dari aktivitasnya memberi tanda positif. MA WANG YUN NE = mawangune = Mangune = Manguni.
Namun bahasa Minahasa juga memberi nama owl dari aktivitasnya memberi tanda negatif. Ketika burung berbunyi tidak merdu atau suara meluncur turun (sliding down), owl disebut "lo yot", pertanda ada malapetaka atau kematian.
Salah satu kesimpulan yang mungkin bisa ditawarkan pada sidang pembaca budiman bahwa nama "burung hantu" berasal dari aktivitas penanda dan tanda (negatif) yang dibunyikan dan ditafsirkan masyarakat umum.
Padahal orang Minahasa (dari etimologi bahasa Han!) justru sudah lebih dulu memberi nama resmi dan positif pada burung ini, tanpa menutupi sisi lain dari semiotik dan semantik yang melekat erat dalam tafsir simbol dan makna masyarakat Minahasa kuno.
Jadi, boleh dinyatakan bahwa leluhur Minahasa selalu berusaha melihat realitas apa adanya sekaligus melampauinya dengan wawasan dan kedalaman akal dan batinnya. Leluhur manusia Minahasa tidak pernah mau membiarkan diri dan peradaban kaumnya terjebak dalam struktur tampilan lahiriah melainkan selalu berani memprofilkan dirinya sejelas dan semurni mungkin, memaknai, dan bertindak transformatif secara gradual sirkuler dengan selalu sadar akan masa lalu demi masa depan!
Dr Beni Matindas menjelaskan permenungan kejeniusan lokal leluhur Minahasa seakan mengental padat berisi manakala dikisahkan bahwa burung Manguni pernah menempati piramida tertinggi dalam struktur hewan dewata pada masa awal kerajaan-kerajaan di negeri Tiongkok.
Setelah Manguni, menyusul naga dan hong, baru kemudian monyet, macan, dan harimau, dst. Konsep kultural spiritual dalam diri burung ini kemudian menghilang di sana, malah di Minahasa masih bertahan sampai abad postmodern ini.
Memahami teks dan konteks Manguni ini menghantar kita memahami peradaban tou Minahasa. Mendeskripsikan dan memahami "teks" (tradisi lisan maupun tulisan) dan "hermeneutika" burung Manguni, kiranya tak berlebihan bisa menghantar kita manusia beradab zaman now untuk mengungkapkan dan menegaskan salah satu sisi idealitas dan praksis hidup leluhur Minahasa di tengah lingkungan dan alam semesta, masa lalu dan masa depan dari generasi ke generasi.
Dalam konteks lebih besar, terkait penelitian dan kesimpulan temuan Boseke, bahwa leluhur Minahasa berasal dari negeri Han bahkan terkait dengan dan adalah penguasa negeri Han itu sendiri, apakah ini bisa ditawarkan sebagai upaya dekonstruksi atas pemahaman yang sudah ada?
Dalam arti tertentu Boseke sedang menawarkan sebuah dekonstruksi atas paham dan praksis yang selama ini sudah sekian lama diterima dan seolah tak pernah dikritisi lagi, sebagaimana tampak dalam kisah populer Toar Lumimuut itu sebagai rujukan leluhur pertama Minahasa, yang berjumlah seratus lebih versi. Kalaupun ada upaya kritis alternatif dari teori-teori yang pernah bermunculan (teori migrasi penduduk dari Yunan Selatan, Mongol, Filipina, Jepang, Austronesia, bahkan sampai sampai Timur Tengah, dari teori arkeologi kerang Passo, manusia kerdil Sawangan, sampai pegunungan Wulur Mahatus, dll.), tapi selalu tak ada kesimpulan akhir yang memadai.
Bisa dikatakan bahwa pembicaraan mengenai asal usul leluhur manusia pertama Minahasa selalu berawal dan berakhir kembali pada mitologi rakyat Lumimuut-Toar itu sendiri dengan segala penafsirannya yang terus berkembang, seiring dengan semakin banyaknya versi yang muncul seolah versi awal dan yang dianggap murni itu sendiri berjumlah 92 itu belum mencukupi. (Lihat • Ada apa dengan Mitologi Lumimuut-Toar? Tawaran Dekonstruksi ala Boseke)
Mengutip epilog tulisan Valen, mungkin bisa diterapkan pada buku temuan terbaru tentang siapakah leluhur Minahasa itu. "Strategi dekonstruksi sebagai pembuka keluasan kemungkinan menyiratkan nasib dasar buku ini. Ia hanyalah pembuka bagi keluasan kemungkinan interpretasi bagi teks 'Mitologi Minahasa' yang terbuka dan sedang 'menjadi penuh'."
Secara adat kita mesti bertanya kepada para Tonaas Walian yang masih menjalankan tradisi ritual tentang kisah leluhur Minahasa, mungkin juga kepada praktisi pahkampetan (orang yang dimasuki roh leluhur) atau pahkewitan (orang yang dibisiki leluhur), atau kepada siapa? Dan siapapun tokoh dan praktisi adat tersebut mungkin akan tetap mendengar dan meminta tanda melalui ko'ko ni Mamarimbing: Manguni!
Teintu tentu. (*)
• Kegiatan Besar Dilarang di Masa Kampanye, Jika Paslon Ngeyel Bisa Dibubarkan Polisi
• Kisah Bejo Untung, Benarkah Anak Letkol Untung Pemimpin Gerakan 30S PKI? Terbongkar di ILC TV One
• Sosok Musso dan Alimin, Tokoh Dalang Pemberontakan PKI di Indonesia, DN Aidit Bukanlah Apa-apanya